Ode Tentang Kota, Bukan Jingle Pariwisata
Kota Jogja yang saya diami tidak semata-mata seperti yang dilantunkan oleh lagu-lagu ala jingle pariwisata. Citranya tak tunggal, tak hanya menyerupai wajah tersenyum yang terpajang di kartu pos.
if ( is_front_page() ) { ?> } else { ?> } ?> if ( is_search() || is_archive() || is_404() || is_feed() || is_attachment() || is_paged() || is_tag() || is_date() ) { ?> } else { ?> } ?>
Kota Jogja yang saya diami tidak semata-mata seperti yang dilantunkan oleh lagu-lagu ala jingle pariwisata. Citranya tak tunggal, tak hanya menyerupai wajah tersenyum yang terpajang di kartu pos.
“Hello, Katia. I would like to interview you. I found your concept to be genuinely fresh and interesting. When can we meet?”
Kali ini terdapat hampir 100 acara seni dan dipadatkan dalam waktu satu bulan.
Belakangan ini skena kopi di Jogja mulai menjadi semakin serius. “Seperti dunia seni rupa kontemporer saja”, begitu pikir saya asal-asalan sambil menyeruput kopi pagi saya hari ini.
“Yang pameran itu latar belakangnya bukan seni. Yang satu perawat, yang satunya pengarsip sepak bola,” ujar Mira.
“Bagaimana jika Jogja menjadi sebuah kota yang terlanjur juga? Bagaimana jika dalam perkembangannya, ia justru sedang merusak dirinya sendiri?”
Singkatnya, kita bisa membebaskan diri dari cara memandang dunia yang hanya berasal dari satu – dua sumber kebudayaan saja.
“Kalau memang kelasnya masih dangdut, ya ngga bisa kita beri musik klasik,” ungkap seorang kenalan beberapa tahun yang lalu, dengan nada meremehkan musik dangdut.
Apa yang kalian bayangkan saat mendengar kata “studio seniman”?