Ritual Memotret Makanan
“Mau pakai stroberi gak?” | “Aku gak doyan stroberi, tapi bagus kalo difoto. Yaudah pakai deh, nanti buat kamu ya?”
if ( is_front_page() ) { ?> } else { ?> } ?> if ( is_search() || is_archive() || is_404() || is_feed() || is_attachment() || is_paged() || is_tag() || is_date() ) { ?> } else { ?> } ?>
“Mau pakai stroberi gak?” | “Aku gak doyan stroberi, tapi bagus kalo difoto. Yaudah pakai deh, nanti buat kamu ya?”
Siapa yang tak suka wisata kuliner? Sudah jadi satu agenda wajib yang tidak bisa dilewatkan di setiap kunjungan wisatawan dari mana pun ke Jogja.
“Aku manut,” jawab kebanyakan orang yang aku tanyai lokasi makan saat ada janjian.
Sejak terbit matahari sampai terbenam dan terbit kembali, ratusan tempat kuliner saling mengisi. Mulai menu sarapan, makan siang, camilan sampai menu tengah malam dan pagi buta, semua ada.
“Piknik itu intinya ya kegiatan makan di ruang terbuka. Jadi di mana saja, asal ruang terbuka ya bisa dibilang piknik,” ujar kawanku di tengah diskusi ringan kami.
Beberapa tips orang-orang tua di jaman dahulu yang memudahkan kita memilih warung makan laris.
“Aku sekarang membiasakan diri makan nasi merah. Rasanya ya gitu deh, aneh…enak nasi putih. Tapi lama-lama jadi biasa,” ujar kawanku yang sedang menjalani program hidup sehat.
“Aku tidak mengerti, melihatnya memakan salad buatanku dengan dicampur saus sambal…bagaimana nanti rasanya?” ujar seorang kawan berkebangsaan Jerman yang juga seorang koki. “Bahkan sebelum ia mencicipi rasannya…!”