Remah-remah Masa Lalu
“Semenjak aku pindah dari Jogja, aku kangen sama banyak makanan di Jogja yang dulunya menurutku nggak enak,” ujar kawan saya yang sudah setahun ini keluar dari Jogja.
if ( is_front_page() ) { ?> } else { ?> } ?> if ( is_search() || is_archive() || is_404() || is_feed() || is_attachment() || is_paged() || is_tag() || is_date() ) { ?> } else { ?> } ?>
“Semenjak aku pindah dari Jogja, aku kangen sama banyak makanan di Jogja yang dulunya menurutku nggak enak,” ujar kawan saya yang sudah setahun ini keluar dari Jogja.
“Indonesia itu bukan melting pot, yang berarti semua lebur menjadi satu dan sama, menghilangkan identitas aslinya. Indonesia jangan begitu. Indonesia itu seharusnya gado-gado,” ujar Prof. Sjafrie dalam salah satu kuliah yang saya ikuti.
“Bisa kali, Mbak, gudeg dijadiin sushi…ada sushi bothok juga kalau mau…” celoteh kawanku ketika kami sedang menikmati sarapan bubur ayam.
“Aku pengen makan makanan tradisional,” jawab seorang kawan dari Jakarta ketika saya ajak makan siang selama kunjungannya di Jogja.
“Di Jogja mabok susu… di mana-mana orang jual susu…” ujar temanku yang sudah satu tahun tidak mengunjungi Jogja.
“Gudeg itu bukan gori-nya, tapi cara masaknya. Ada kok buku resep kuno cara masak gudeg yang nggak pakai gori,” ujar Mas Iwan Pribadi ketika kami mengobrol tentang gudeg.
“Titip jadah tempe ya?” pesan ibu saya setiap saya pergi ke Kaliurang.
“Warung Sidosemi udah tutup kali, Ndie…” ujar Apo beberapa hari yang lalu.
“Seru lagi kalau jalan-jalannya sambil icip-icip jajanan pinggir jalan,” ujar temanku dari Jakarta sewaktu berkunjung ke Jogja.