Street food – atau di sini aku artikan sebagai jajanan pinggir jalan – jelas sedang naik daun. Ini aku tau karena di TV kerap sekali ada program yang ‘menjual’ jajanan pinggir jalan. Entah itu di Italia atau di Vietnam, atau di Indonesia sendiri, mereka selalu menyuguhkan berbagai makanan eksotis yang dijual oleh para penjaja jajanan ini.
Menurutku, jajanan pinggir jalan ini lama-lama menjadi overrated. Jajanan pinggir jalan ini seakan-akan adalah satu-satunya makanan autentik di suatu daerah. Sampai-sampai aku pernah dengar ada yang bilang kalau mau tau makanan suatu daerah, sebaiknya mencicipi jajanan yang dijual di pinggir jalan. Di salah satu program acara di TV bahkan lebih jauh lagi, menyebutkan bahwa jajanan di pinggir jalan ini memiliki rasa yang ‘segar’ dan ‘enak’ – karena bahan yang digunakan adalah bahan yang segar.
Memang sih, pengalaman membeli jajanan di pinggir jalan itu bisa jadi tiada duanya. Tapi untuk makanannya sendiri? Mencari jajanan di pinggir jalan yang ‘layak’ santap sebenarnya tidak mudah. Belum lagi kalau diberi embel-embel ‘autentik’ dan ‘khas’. Seperti apa itu ‘autentik’? Seperti apa itu ‘khas’?
Kalau kita berkeliling Jogja, tentu saja jajanan di pinggir jalan ini gampang ditemui. Ragamnya terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Tapi untuk menentukan mana yang autentik dan mana yang khas, membutuhkan diskusi yang lebih panjang lagi. Contohnya saja, di Jogja mudah dijumpai pedagang cimol dan pisang aroma, yang jelas bukan dari Jogja. Lalu ada juga pedagang lumpia yang cukup terkenal, sementara lumpia sendiri dikenal sebagai ‘khas’ Semarang. Belum lagi sate kere yang tidak jelas asal-usulnya, tapi sering dicari saat Sekaten tiba karena dianggap ‘khas’ Sekaten.
Sebenarnya sih, kalau mau, sate kere ini bisa dengan mudah ditemui kapan saja di sekitar Pasar Beringharjo.
Selain itu, mencari jajanan pinggir jalan yang ‘layak’ pangan (dari sisi kesehatan) butuh perjuangan sendiri. Tak adanya standar/hukum khusus untuk melindungi konsumen dari sakit perut (minimal), membuat para pedagang itu bebas menggunakan bahan apa saja demi kepraktisan dan menekan ongkos produksi. Bahan yang ‘segar’ jelas akan meningkatkan ongkos produksi, sehingga akan jadi pertimbangan tersendiri.
Sementara, untuk rasa, kita kembali pada selera. Apa yang menurutku enak, belum tentu enak untuk orang lain – dan sebaliknya. Dari sekian banyaknya jajanan di pinggir jalan, akan sulit menemukan sendiri mana yang enak. Aku pernah mencoba melakukannya, dan lebih sering kecewa daripada puas.
Di sinilah biasanya aku membutuhkan referensi dari orang lain – ini bisa liputan-liputan di media atau sekedar saran dari teman. Meski selera orang berbeda-beda, lebih baik mencoba sesuai referensi daripada mencoba dengan cara membabibuta.
- Merapi dan Romantisme Kaliurang - September 18, 2015
- Soto (di) Jogja - September 15, 2015
- Segelas Teh di Angkringan - July 24, 2015
- Jalan Kaki di Kotagede - July 21, 2015
- Jogja Terlalu Nyaman - July 10, 2015
- Si Terang Bulan - April 28, 2015
- Acuan Kuliner dan Keberlimpahan Informasi - April 3, 2015
- Piknik itu (Bisa) Sederhana - March 21, 2015
- Traktiran Ulang Tahun - March 18, 2015
- To Eat or Not To Eat? - March 12, 2015