Ihwal PKL Kampus Kerakyatan: Jalan Kaliurang

Persoalan nama warungnya ini pernah saya tanyakan ke Mas Rianto sendiri, mengapa Surabaya, sedang kota itu tidak punya andil dalam hidupnya. Ia hanya tertawa kikih seperti biasa. Ia sepertinya tidak punya jawaban.

Pertemuan antara pemilik warung makan dan pelanggan tetap ini terjadi secara sederhana; melalui jasa angkut yang ia kelola di siang hari. Saat itu kami bercengkerama, ia bercerita di malam harinya ia membuka sebuah warung kaki lima di Jalan Kaliurang, tepat di samping gedung Rektorat Kampus Kerakyatan.

Alasan mengapa aku menjadi pelanggan tetap juga sederhana; selalu ada cerita di setiap masakannya. Setelah memasak dan mengantarkan makanan, Mas Rianto selalu duduk di sampingku lalu menyulut sebatang rokok. Ia bercerita banyak hal. Pedagang kecil ini tentu saja tidak mengenal konsep serviceexellencerestoran-restoran ternama, ia melakukannya secara naluriah. Dan hal itu membuatku betah.

Malam itu kami bercerita tentang problematika menjadi seorang PKL di kawasan Kampus Kerakyatan.Tidak seperti PKL di area pada Kampus Kerakyatan lainnya, PKL malam Jalan Kaliurang cenderung tidak pernah mendapat masalah apalagi ancaman relokasi. Penghasilan mereka datar di setiap malamnya, serta minim pungutan liar. Perdagangan dilakukan secara bebas tanpa ada prosesi jual-beli lapak. Paling tidak itu yang diakui Mas Rianto sebagai kepada saya, entah ia berkata jujur atau tidak.

Namun tidak ada yang tahu hingga mana ketenangan ini berlanjut. Ditambah isu keinginan Kampus Kerakyatan untuk menutup Jalan Kaliurang guna menghubungkan sayap timur dan sayap barat wilayah kampusnya. Tidak ada yang tahu hingga kapan Mas Rianto dan PKL Jalan Kaliurang lainnya, serta PKL-PKL di kawasan aman Jalan Agro dan Colombo, dapat berjualan dan menghidupi keluarga mereka sebagaimana mestinya.

Masalahnya sekali lagi adalah hak. Kampus Kerakyatan sebagai lembaga pendidikan memiliki hak untuk berkembang dan memodernkan diri. Jika kawasan dan tanah yang diberikan Sultan adalah hak mereka, maka merelokasi juga merupakan hak mereka pula. Namun pedagang sebagai entitas warga negara turut memiliki hak untuk mencari nafkah. Dan negara serta kampus yang membawa embel-embel ‘Kerakyatan’ seharusnya cakap melindungi hak tersebut.

Begitulah satu malamku lagi berlalu Seafood Surabaya, satu dari sekian warung kaki lima yang melabuhkan nasib di kawasan Kampus Kerakyatan. Tak enak hati rasanya mempertanyakan ihwal PKL ini lebih lanjut kepada Mas Rianto. Nanti dia pusing. Toh niatku kemari bukan sebagai wartawan yang sedang mencari berita, bukan sebagai penulis yang mencari ide, atau sebagai pelanggan di bulan muda. Tapi sebagai teman.

Begitu pulalah akhir dari ihwal PKL Kampus Kerakyatan. Sungguh rentetan tulisan subjektif ini hadir tanpa maksud membuat keberpihakan. Hanya saja, alangkah elok bila kita merasakan sebelum berpihak.

About Fahmi Rijal

Perantau. Dari Pekanbaru menuju Yogyakarta untuk menulis. Sedang menunggu seorang messiah yang mau mempekerjakannya secara tetap dan bergaji. Sebelum ia lelah dan memutuskan untuk jadi PNS.

Leave a Comment