Jogja Kota Kenangan

Akhir-akhir ini banyak komentar negatif bermunculan mengenai sebuah foto ucapan terima kasih atas terjualnya seluruh apartemen di suatu condotel. Rata-rata komentar tersebut memang menyayangkan perubahan Jogja yang terasa ‘bisnis’-nya. Ini membuat saya berpikir tentang banyak hal. Dan satu komentar tadi mengingatkan saya akan perasaan saya sendiri, membuka mata yang tadinya sengaja saya tutupi.

Jogja selalu identik dengan makanan murah, tradisi yang masih mengakar, hingga guyub-rukun di bawah naungan Sultan. Di FTV-FTV yang bertebaran, Jogja selalu ditandai dengan sepeda ontel, rumah joglo/limasan, motor bebek jaman dulu (kalau ada mobil/motor mewah biasanya milik tokoh dari ‘kota besar’), tokoh ibu yang berkebaya dan bersanggul. Sesuatu yang teramat tradisional dan kuno.

Di dalam diri saya sendiri terjadi pergolakan. Saya menolak potret Jogja a la FTV karena menurut saya Jogja tidak setradisional itu. Tapi di sisi lain saya belum siap melihat Jogja dikuasai kondotel dan mall (yang dapat dilihat sebagai salah satu simbol modernitas).

Jogja menjadi kota kenangan – kota yang hidup dalam kenangan. Saya merindukan Jogja pada masa saya kuliah dulu kala. Saya merindukan Jogja yang bebas macet. Tapi (jujur saja) saya bahagia Jogja kini memiliki banyak tempat hiburan/nongkrong yang tidak saya temui pada masa kuliah.

Menurut saya, protes-protes terhadap perubahan kota Jogja ini berasal dari rasa kecewa atas hilangnya Jogja dalam kenangan. Masalah-masalah seperti lalu lintas dan lahan hidup memang sedikit dari berbagai masalah yang akan menyertai masuknya modernitas – itu yang seharusnya diselesaikan.

Tak dipungkiri, Jogja memang memiliki banyak PR yang harus dikerjakan dalam rangka menghadapi masuknya gelombang modernitas ini. Jangan heran apabila suatu saat nanti warung-warung lesehan kenangan jaman sekolah akan hilang terkait dengan penertiban penggunaan trotoar atau majunya sistem kontrol terhadap kesehatan dan kebersihan tempat makan.

Mungkin kita belum siap melihat perubahan kota Jogja. Satu yang pasti, Jogja akan terus bergerak – mungkin makin keras, mungkin makin berantakan, atau mungkin makin sehat. Jogja yang berhenti dan dibekukan, serta dipaksa untuk tetap ‘lugu’, hanya ada dalam kenangan kita – di sanalah Jogja yang asri dan tradisional itu berada.

About Rizkie Nurindiani

Penulis lepas yang sedang mendalami ilmu (yang kalau boleh dikatakan sebagai) antropologi kuliner, pecinta ide namun sedikit waktu dan tenaga untuk mewujudkannya, penyuka makanan sambil sedikit-sedikit mulai belajar memasak - semua di antara keriuhan menjadi seorang ibu.

Leave a Comment