‘Jogja Ngangeni’ yang Melankolis

Tentang seberapa rindunya seseorang kepada Yogyakarta, sudah banyak mereka yang membahas. Postulat Jogja ngangeni pun telah diukir dalam lirik-lirik lagu kenamaan. Dan saya, sebagai pihak luar yang cukup lama tinggal di Yogyakarta, merasakannya dan sepakat. Tapi sedulur-sedulur, ketika saya mencoba menafsirkan postulat tersebut saat berkuliah kerja nyata ria di Belitung sana, saya merasakan perasaan rindu sedikit berbeda dari apa yang pernah dijabarkan orang-orang.

KLA Project contohnya, dalam Yogyakarta ia menyebutkan ‘suasana kota’ sebagai objek. Pedagangan ‘kaki lima’ dan ‘musisi jalanan’ dijadikan sebagai misal dari objek tersebut. Pun begitu dengan The Everyday Band dalam senandung Kapan ke Jogja Lagi.

Orang-orang kebanyakan menggunakan suasana Jogja beserta budaya yang mengisinya sebagai objek kerinduan. Perasaan rindu ini seperti perasaan rindu seorang petualang kepada kampung halaman, perasaan rindu seorang mahasiswa kepada masa SMA, atau perasaan rindu seorang lajang kepada masa pacaran. Perasaan rindu pada suasana, sendu dan menurut saya terlalu melankolis. Bukannya tidak setuju, hanya terlalu melankolis.

Karena Jogja bagi saya adalah kota yang mampu menghargaimu seutuhnya sebagai manusia dewasa. Jogja adalah tempat seseorang memahami mau menjadi apa ia di masa depan. Jogja punya kemampuan untuk memfasilitasi ide-ide segila apa pun yang engkau miliki. Jogja sering mempertemukan orang-orang yang kegemarannya sejenis. Jogja adalah tempat bertualang, tempat mencari jati diri dan menemukan sebuah arti.

Maka rindu kepada Jogja, adalah sebagaimana rindu seorang mantan pemain bola kepada lapangan hijau. Rindu kepada Jogja adalah rindu seorang aktivis kepada pengeras suara. Rindu kepada Jogja adalah rindu pensiunan tentara kepada perang Rindu kepada Jogja adalah rindu seseorang yang merdeka kepada masa-masa perjuangan. Sebuah rindu yang sifatnya membakar, bukan menyejukkan.

Tentu saja sedulur-sedulur diperkenankan untuk tidak menyepakati manifesto Jogja Ngangeni versi saya. Namun pada akhirnya tetap sama, bahwasanya Jogja selalu memberikan kerinduan kepada mereka yang pernah berdiam di kotanya, itu nyata.

 

About Fahmi Rijal

Perantau. Dari Pekanbaru menuju Yogyakarta untuk menulis. Sedang menunggu seorang messiah yang mau mempekerjakannya secara tetap dan bergaji. Sebelum ia lelah dan memutuskan untuk jadi PNS.

Leave a Comment