Bagi saya sebagai orang awam, kehadiran karya perawat atau pengarsip di ruang pameran merupakan hal yang tak lazim. Dalam pameran Exhibition Laboratory (Ex.Lab.) 2 angkatan I ini, dua orang dengan latar belakang non seni memang diundang untuk berkarya. Isnen Bahar Sasmoyo yang merupakan lulusan akademi keperawatan menyajikan pengalamannya dengan pasien-pasien schizophrenia. Sementara Dimaz Maulana yang merupakan pengarsi sepakbola dan pengelola webzine Bawah Skor Mandala menggarap nostalgia visual mengenai Piala Suratin dan PSIM.
Meski juga menghadirkan dua peserta berlatar belakang pendidikan seni di angkatan berikutnya, bagiku angkatan pertama ini menarik karena ketiadaan latar belakang seni itu sendiri. Memang, sebenarnya di ranah seni kontemporer, kehadiran senimam ‘otodidak’ ini bukan hal yang aneh. Tapi tetap saja hal ini membuatku tertarik dengan cara yang berbeda.
Ex. Lab 2 ini rupanya tidak menjadikan portofolio sebagai syarat utama pameran. Lir Space menyediakan ruang bagi mereka untuk berproses, dan yang penting justru pembentukan pola pikir serta proses bagi penciptaan karya itu.
Sebagai orang awam (ini perlu ditegaskan) menerima pameran seni dari seniman berlatar belakang pendidikan seni lebih mudah daripada yang tidak. Percaya atau tidak, cara pikir saya yang sudah terkonstruksi sebegitu rupa akan otomatis menganggap pameran karya para seniman itu sebagai kegiatan seni – apapun yang bentuknya. Saya merupakan subordinat, yang apabila tidak mengerti seninya berarti itu karena ketidakmampuan saya untuk melihat yang seharusnya terlihat.
Sementara melihat pameran yang dibuat oleh mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan seni justru membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana mereka menerjemahkan seni ke dalam pamerannya? Bagaimana pameran yang mereka buat tidak sekedar presentasi belaka?
Untuk menjawabnya, jelas saya membutuhkan ‘bimbingan’ dari yang lebih tahu. Dan jawabannya bukan hal yang bisa saya tuliskan di sini karena penjelasannya akan panjang-lebar. Ketakutan saya, bila menuliskannya separuh-separuh justru akan dianggap dangkal dan malas.
Pada akhirnya, meski tidak mencari nafkah di ranah kekaryaan, kedua peserta pameran tadi melakukan pameran untuk pengembangan diri mereka sendiri. Contohnya, bagi Isnen, pameran menjadi ajang untuk menantang dirinya sendiri. Baginya, berkarya dengan sebuah konsep besar yang bahkan sampai membutuhkan riset, memberinya tantangan yang mengasyikkan ke dalam hidupnya. Sementara, bagi Dimaz kegiatan pameran dianggapnya sebagai cara untuk menyampaikan apa yang ia suka dan apa yang ia tahu kepada publik. Dengan demikian, pameran pun memiliki makna personal yang mungkin berbeda dengan orang-orang lain

- Merapi dan Romantisme Kaliurang - September 18, 2015
- Soto (di) Jogja - September 15, 2015
- Segelas Teh di Angkringan - July 24, 2015
- Jalan Kaki di Kotagede - July 21, 2015
- Jogja Terlalu Nyaman - July 10, 2015
- Si Terang Bulan - April 28, 2015
- Acuan Kuliner dan Keberlimpahan Informasi - April 3, 2015
- Piknik itu (Bisa) Sederhana - March 21, 2015
- Traktiran Ulang Tahun - March 18, 2015
- To Eat or Not To Eat? - March 12, 2015