Bagi saya, nama Teater Garasi merupakan salah satu jaminan mutu atas suguhan tontonan pertunjukan. Agustus tahun lalu, Teater Garasi mengadakan sebuah workshop bagi seniman-seniman Jogja sebagai bagian dari program Nexus of Exchange Artist-in-Residence: Laila Soliman dari Mesir. Menariknya, workshop ini tidak hanya dilakukan oleh para seniman teater atau pertunjukan, namun juga musisi, sampai fotografer. Pada akhir residensi, para peserta ‘menampilkan’ karya mereka kepada publik dengan cara yang berbeda. Alih-alih dilakukan di ruang pertunjukan dengan panggung formal, acara ini dilakukan di pinggir sawah sekitaran studio Teater Garasi pada sebuah sore yang indah.
Awalnya, para penonton dipersilahkan masuk dan menunggu. Beberapa orang mulai melirik para aktor Teater Garasi dan mengharapkan sesuatu terjadi. Tidak adanya kostum maupun panggung yang memisahkan antara penampil dan penonton membuat beberapa orang mulai memiliki harapan atas adanya perilaku tidak wajar yang menandai dimulainya pertunjukan ini. Tiba-tiba ada satu pria muda yg berjalan mendekati kaca yg ada di belakang saya dengan iringan musik rock n roll dari Tillman Brother. Ia mulai bersolek, menggunakan pomenade di rambutnya, memperlihatkan tato di tangannya, mengenakan kacamata hitam, dan bergaya ala anak muda modern tahun 60an walaupun tanpa wangi yang super menyengat. Setelah rapi, ia mendekati Vespanya dan menaiki Vespa tersebut untuk menggiring penonton sampai ke perempatan desa di pinggir sawah tidak jauh dari Teater Garasi. Di perempatan tersebut ia bertemu seorang pria lain yg bertanya ‘Vespamu kok bagus, tahun berapa?’; dan dijawabnya: “tahun 65”. Act pembuka ini sekaligus menggiring penonton untuk menuju pertunjukan selanjutnya.
Adegan awal ini menawarkan kesegaran dari tema 1965 yang lekat dengan genosida PKI. Alih-alih membicarakan tentang tragedi 65, pria parlente yang merupakan anggota dari artist collective berbasis fotografi, Mes56, ini justru mengumpulkan BPKB Vespa tua yang tahun produksinya 1965. Bagi saya, ide tersebut segar dan ringan serta tidak berjarak dari gaya hidup sang seniman itu sendiri sambil tetap mampu menggambarkan tentang gaya hidup anak muda Indonesia pada tahun 60an. Pilihan lagu Tillman Brother menunjukkan posisi politis presiden Sukarno yang konon saat dihibur oleh penampilan Elvis Persley di Amerika justru menjawab ‘Kalau (hanya) seperti ini, Indonesia pun punya Tillman Brother’.
Act itu dilanjutkan oleh penampilan Vicky dari bengkel Mime yang mengajak pemirsa untuk duduk dan menghadap sawah sambil bercakap-cakap. Setelah beberapa menit, dari pinggir jalan besar di ujung sawah itu terlihat seseorang seperti petani yang terlihat seperti sedang mencangkul. Semakin dekat orang itu, dia terlihat sedang mencangkul tanpa cangkul. Dia berjalan semakin cepat sambil terus ‘mencangkul’ dengan cepat hingga terlihat mirip orang menari sebelum kemudian berlari mendekati penonton dan menjatuhkan diri seperti orang mati di pinggir sawah. Orang itu bukan petani tapi Rizky Sasono, front man dari band Risky Summerbee and The Honeythief. Sembari Vicky bercerita tentang ‘hantu’ dan orang mati yang hidup lagi, Risky kemudian bangun, bersama Vicky menari diiringi lagu2 dari pemutar kaset lawas sambil sesekali melakukan monolog yang mengingatkan saya pada presiden Suharto dan propaganda-propagandanya tentang indonesia yang gemah ripah loh jinawi serta ‘kebebasan’ yg digembar gemborkannya. Tentu saja settingnya pas: di pinggir sawah yang hijau meluas.
Tim teater Garasi kembali membawa kita ke perempatan di tengah suasana desa yang sempurna, angin sore sepoi-sepoi dan suara gemericik air dari sungai kecil yang jernih. Ada seorang wanita muda dengan topeng Suharto memberikan instruksi ala jendral kepada para penonton, memberitahukan bahwa ia akan memilih beberapa orang untuk diberi kewenangan yang terhormat untuk membunuh siapapun yang mereka rasa perlu demi membela bangsa. Setelah itu, wanita tersebut membisikkan kepada beberapa orang terpilih “You have a liscene to kill” dan orang-orang ini kemudian memilih orang lain untuk ditembak. Mereka yang tertembak kemudian jatuh dan ‘mayat’-nya diberi kapur layaknya area kriminal oleh pria parlente dalam act pembuka. Sembari ia memberi tanda (yang sayangnya secara visual kurang terlihat karena orang-orang ini jatuh di tanah dan kapurnya tidak terlihat), seorang wanita muda menari sambil menceritakan kisah seorang nenek korban pembantaian PKI di tahun 65 yang dibuang ke sungai setelah dibunuh. Di akhir tarian itu, ia menebarkan kelopak bunga mawar ke dalam sungai yang mengalir.
Kendali diambil alih oleh Ferial yang menceritakan kisah seorang wanita muda yang senang menari dalam iringan lagu “Genjer-Genjer” yang membuatnya dijadikan tapol selama 14 tahun. Sebagai ilustrasi bagi cerita Ferial, Verry Handayani, seorang aktor Garasi yg dikenal sebagai pembuat teater dokumenter, mulai menampilkan kisah wanita muda itu dengan kepala tertutup ember. Ia menampilkan gerak tubuh, monolog, dan nenyanyikan lagu Genjer-Genjer dengan mistis di dalam ember tersebut sambil berjoged. Setelah keluar dari ember itu, Verry berjalan bersama Ferial, terlihat seperti gadis gila, menuju sebuah dapur di samping rumah desa di sana.
Dapur itu terlihat seperti tipikal dapur Jawa kuno di desa: berada di luar rumah dengan tungku kompor kayu dan arang dan berlantaikan tanah. Ayam-ayam terlihat bersliweran, dan seorang wanita terlihat memasak sayur genjer lengkap dengan cabai merah dan aroma yang menggugah selera di sana. Di sisi kiri dapur, seorang “wanita” terlihat tidak sadarkan diri, kepalanya dibungkus plastik, ia mengenakan daster terbuka pendek, dan tangannya terikat kencang oleh tali. Di sampingnya, penyair Gunawan Maryanto terlihat sibuk mondar mandir keluar masuk sambil menata kertas dan batu di halaman.
Setelah sayur genjer jadi, wanita itu membawa sayur ke Gunawan Maryanti dan ke ‘wanita’ yg ternyata adalah Rendra, salah satu aktor teater pria. Sementara Gunawan memakannya, sayur milik wanita itu dimakan oleh ayam ayam sementara ia masih terlihat tak sadarkan diri. Selain bahwa secara visual pertunjukan ini bagi saya terasa ‘berdarah-darah’, adanya ekspresi spontan dan interaksi warga dalam karya ini terasa organik dan menarik bagi saya. Anak-anak desa yang sebelumnya turut melihat pertunjukan sebelumnya merasa bahwa adanya wanita dengan kepala tertutup plastik dan tangan terikat itu pun teralu mengerikan.
Berikutnya, para penonton diajak berjalan menuju persipangan besar di desa tersebut di mana terdapat dua buah papan koran warga. Satu berisi koran dan yang lainnya dibiarkan kosong. Dua pemuda, Dito dan Pungki yang merupakan anggota Mes56 dan biasa berkarya dalam medium fotografi, kali ini dikeluarkan dari zona nyamannya dan ditantang untuk berkarya dalam bentuk seni pertunjukan. Mereka mulai menggambari kaca papan koran kosong itu dengan lipstik merah. Dimulai dari gambar pistol, keluarga, dan dengan proporsi yang paling besar dan tebal, diikuti dengan coretan-coretan hal-hal yang mengingatkan mereka atas 65. Selain gambar, mereka juga membuat beberapa tulisan seperti ‘Dor Dor Dor’ dan ‘mati’ di atas kaca itu.
Tak lama kemudian, Arsita, seorang aktris teater tampil di belakang kaca itu sambil berkata “Sejarah adalah bayangan”. Karya ini sekaligus menjadi penutup bagi pentas ini. Sita, Dito, dan Pungki yang merupakan generasi muda saat ini, hanya mendapatkan kisah mengenai 1965 secara sepotong-sepotong. Meskipun memiliki kisah personal dari generasi pendahulunya, sejarah personal ini kemudian tidak ingin diingat dan jarak yang dimilikinya membuatnya memilih untuk fokus pada hari ini dibanding melihat ke masa tersebut. Bagi anak muda sepertinya, mungkin, sejarah memang adalah sebuah bayangan dan 1965 hanyalah sebuah tahun?
Fragmen-fragmen kisah dari berbagai jenis penampil ini pun kemudian bisa disikapi sebagai sebuah hiburan di sore hari yang indah, atau sebagai usaha untuk menolak lupa atas sejarah kelam bangsa ini.

- Semacam Pasar Malam di Bulan Juni - June 5, 2015
- Pelukis-pelukis Mural - April 17, 2015
- Kopi dan Seni yang Serius - March 3, 2015
- Melihat Jogja dari Jakarta - February 7, 2015
- Studio Visit: Berkunjung ke Studio Seniman - December 11, 2014
- Andaikan Saya Seorang Kolektor - December 4, 2014
- Nexus of Change: Suatu Sore di Teater Garasi - July 11, 2014
- Menulis yang Remeh Temeh - June 25, 2014
- Sebelum Menikmati Pameran Seni - June 11, 2014
- Yuk, Berwisata Seni! - June 2, 2014