Ode Tentang Kota, Bukan Jingle Pariwisata

Di bulan Juni 2015, seorang teman baik mengirimkan sebuah kepingan fisik rekaman dari band bernama Silampukau. Sejak menerima kepingan CD tersebut, lagu-lagu mereka tak pernah absen dari mobil saya selama kurang lebih dua minggu. Untunglah perjalanan saya dari rumah menuju kota yang cukup jauh membuat saya bisa mendengarkan lagu-lagu ini dengan lebih seksama, tanpa terputus.

Pertama kali mendengarkan lagu-lagu dalam album berjudul “Dosa, Kota, & Kenangan” ini, pikiran dan perasaan saya kembali ke tahun 2010. Tahun di mana saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta untuk sesaat menyelami kota tersebut. Saat itu, saya berkenalan dengan sebuah album musik berjudul “Ode Buat Kota” dari Bangkutaman. Album ini kemudian tidak saja menemani hari-hari saya di Jakarta namun juga memberikan gambaran yang (hampir) utuh sebagai pembuka perkenalan saya dengan Ibukota.

Tak ada kata-kata indah di lagu-lagu dalam album itu. Hanya pengalaman sehari-hari yang untuk saya tidak terasa mengada-ada. Lagu-lagu ini kemudian saya lihat seperti ketika melihat karya foto seorang street fotografer yang memiliki kecenderungan untuk mengambil apa yang ada di jalan dan menemukan sisi puitis secara sederhana ketimbang merangkai sesuatu yang dibuat-buat.

Tak jauh berbeda dengan cara yang digunakan oleh Bangkutaman, Silampukau melalui album terbarunya ini juga mengajak saya untuk menyelami sebuah kota. Jika Bangkutaman memilih Jakarta sebagai topik bahasannya; Silampukau memilih untuk menghadirkan Surabaya dalam sebentuk kota sarat sejarah yang sekaligus modern. Tak banyak yang saya ketahui tentang kota ini selain cerita-cerita sejarah di era perjuangan kemerdekaan.

Salah satu kota industri terbesar di Indonesia ini pun seolah kehilangan daya tariknya untuk diceritakan hingga akhirnya semua cerita masa kini tentang kota Surabaya ini dihadirkan oleh Silampukau. Deretan kata yang indah namun tak merayu, dan jujur menjadi cara jitu untuk menghadirkan sebuah nuansa visual dalam lirik lagu dengan sangat pas. Tak berlebihan, tak mengada-ada. Tak ada upaya untuk menunjukkan sisi-sisi nostalgia ala Jembatan Merah ataupun keramahan khas bangsa Timur. Semua yang hadir adalah potongan-potongan kehidupan nyata, yang terkadang menyakitkan, menyedihkan, keras, menyebalkan namun tak jarang justru membuatnya sangat puitis.

Dalam rentang dua minggu, saat dimana saya mendengarkan album Silampukau secara rutin dan cukup intens, muncul sebuah pertanyaan: sudah adakah album atau setidaknya lagu yang cukup memberikan gambaran tentang kota saya, Jogja, dengan cara yang dilakukan oleh kedua band tersebut?

Lagu ‘Jogja Istimewa’ dari Jogja HipHop Foundation menurut saya adalah satu dari sedikit lagu yang memiliki kepekaan pada jamannya meski tak secara spesifik membahas tentang fisik kota itu sendiri. Lagu ini menurut saya lebih mengarah kepada ideologi, pergerakan, dan gagasan mengenai sebuah kebudayaan ketimbang membahas tentang kota itu sendiri. Adanya kepekaan isu dan waktu seperti yang ditunjukkan oleh lagu tersebut ini tampaknya perlu untuk melihat kembali bagaimana sebuah kota berdenyut, dan terus berubah.

Satu lagu lainnya yang mungkin untuk saya cukup berhasil memberikan gambaran spasial tentang kotadengan sedikit berbeda dan tidak bernuansa jingle pariwisata adalah “Di Sayidan” yang dinyanyikan oleh Shaggydog. Nuansa keramahan yang dihadirkan, bagaimana liriknya membawa pendengarnya menelusuri kota di malam hari menuju tempat bernama Sayidan, serta gambaran situasi Sayidan yang dipilih sebagai lokasi berhasil memicu imajinasi yang baru atas kota Jogja saat pertama kali mendengarnya.

Namun selain lagu-lagu tersebut, setidaknya tiga dari lima lagu tentang Jogja justru terjebak di dalam nuansa romantisme yang menurut saya usang. Hal yang saya cari tentu bukan tentang isu-isu seputar kota besar seperti yang disajikan oleh Bangkutaman maupun Silampukau. Saya hanya mencari hal-hal yang lebih nyata, lebih apa adanya, ketimbang sebuah kalimat bernada pariwisata yang tampak beda namun memiliki esensi yang sama.

Kota Jogja yang saya diami saat ini sepertinya tidak semata-mata seperti yang dilantunkan oleh lagu-lagu yang menurut saya seperti jingle pariwisata. Citranya tak tunggal, tak hanya menyerupai wajah tersenyum yang terpajang di kartu pos.

Konon kata seorang teman, identitas yang dilekatkan kepada kota ini adalah konstruksi dari pihak luar. Semacam harapan yang disematkan pada kota ini sebagai bagian dari ingatan indah orang-orang (yang kini berada) di luar Jogja semasa mereka berkuliah atau berwisata. Saya tak menyangkal namun tak menyetujui sepenuhnya. Saya masih cukup memiliki kepecayaan bagaimana warga kota mampu membangun identitasnya. Kebanyakan orang, tak terkecuali saya memang tak menginginkan Jogja berubah tapi toh menghindarkan Jogja dari perubahan bisa jadi hal yang mustahil.

Mungkin saya membutuhkan lagu-lagu tentang kota ini untuk lebih mengenalnya, lebih memahaminya. Bukan hal yang tidak mungkin jika kemudian segala perubahan tak terhindarkan yang sedang dialami Jogja ini mampu membuat banyak orang yang lama tinggal di Jogja merasa asing dengan kotanya. Saat itulah sebuah lagu atau album tentang kota yang jujur, yang apa adanya, saya nantikan kehadirannya sebagai penengah diantara ketegangan ini.

About Dito Yuwono

Pernah menulis untuk sebuah zine musik lokal pada tahun 2008-2010. Saat ini berprofesi sebagai penulis kuliner-seniman-pengelola ruang seni-manajer residensi-fotografer-dan lain sebagainya.

Leave a Comment