Saat aku masih duduk di bangku SD, keluargaku kerap melakukan piknik. Kadang hanya kami berlima, kadang dengan saudara, kadang dengan tetangga. Seingatku, saat itu kami sering membawa makanan ke luar dan makan di luar rumah. Seringkali kami melakukannya di tempat wisata atau di pinggir jalan saat dalam perjalanan antar kota. Terkadang kami sekedar membawa makanan kami ke lapangan di seberang rumah atau di Boulevard UGM. Saat itu, Boulevard UGM masih menjadi ruang publik, dalam artian mudah sekali di akses oleh masyarakat.
Kami biasanya membawa bekal makanan dan tikar untuk alas duduk. Bekalnya cukup sederhana: masakan sehari-hari ibuku. Biasanya nasi rames yang dibungkus dengan lauk ayam goreng dan tahu-tempe goreng – terkadang lengkap dengan krupuk atau peyek. Minumannya teh yang disimpan di dalam termos. Untuk anak-anak, ada jeruk peras yang disimpan dalam botol. Mungkin karena belum terbiasa dengan sosis atau nugget, di masa itu, bekal seperti yang kami bawa masuk dalam kategori praktis.
Piknik yang kami lakukan tidak melulu di siang hari. Kerap juga kami berpiknik di malam hari. Ketika bulan purnama, beberapa kali ibu dan ayahku mengajak anak-anaknya untuk makan di lapangan seberang rumah bersama dengan tetangga yang anaknya sebaya dengan kami. Kadang kami tidak benar-benar makan besar di sana, kadang kami hanya menikmati jagung rebus atau camilan lain. Saat itu, piknik terasa begitu sederhana dan impulsif.
Tumbuh dengan kebiasaan piknik dilengkapi imajinasi piknik a la Enid Blyton, aku menyukai kegiatan berpiknik. Begitu santai, keluar dari rutinitas, sambil menikmati makanan yang kami bawa dan tempat yang kami jadikan lokasi piknik.
Namun, kini piknik terasa sedikit lebih mewah. Dari sisi waktu, kegiatan ini termasuk mewah karena untuk meluangkan waktu saja sulit. Dari sisi makanan, ekspektasi terhadap bekal yang dibawa pun meningkat. Karena untuk cari waktunya saja sulit, ada ekspektasi makanannya juga harus yang tidak biasa. Kepraktisan juga menjadi hal yang penting, terkait dengan semakin ‘mahalnya’ waktu. Membeli makanan menjadi opsi menarik melihat kerepotan yang harus dilalui bila membuatnya sendiri.
Dari sisi lokasi, juga makin mewah. Karena ruang publik yang semakin menyusut, lokasi piknik pun bergeser ke tempat-tempat wisata yang komersial. Contohnya taman bermain di Kaliurang, pantai-pantai, atau kebun binatang. Semuanya membutuhkan uang retribusi untuk sekedar masuk. Bahkan di tempat wisata, banyak lokasi yang dikomersialkan untuk berdirinya warung makan. Selain itu, karena piknik menjadi lebih istimewa, muncul ekspektasi bahwa lokasi piknik juga harus istimewa, semacam pantai berpasir putih yang tenang dan lengang.
Melihat piknik yang semakin mewah ini, ada kekhawatiran bahwa lambat laun tidak lagi piknik yang sederhana dan impulsif. Padahal sebenarnya piknik dapat dilakukan di halaman belakang rumah. Atau kita dapat mengimitasi piknik dengan menggelar tikar di tempat-tempat yang tidak biasa dijadikan tempat makan di area dalam rumah, misalnya di kamar tidur atau di garasi. Sesekali boleh laaah…
Ada ide tempat piknik yang sederhana lainnya di Jogja? 🙂
- Merapi dan Romantisme Kaliurang - September 18, 2015
- Soto (di) Jogja - September 15, 2015
- Segelas Teh di Angkringan - July 24, 2015
- Jalan Kaki di Kotagede - July 21, 2015
- Jogja Terlalu Nyaman - July 10, 2015
- Si Terang Bulan - April 28, 2015
- Acuan Kuliner dan Keberlimpahan Informasi - April 3, 2015
- Piknik itu (Bisa) Sederhana - March 21, 2015
- Traktiran Ulang Tahun - March 18, 2015
- To Eat or Not To Eat? - March 12, 2015