Beberapa bulan lalu, akun jejaring sosialnya berganti nama menjadi Dwi Lgh, kepanjangan dari Dwi Lighting. Dwi Novianto (34 tahun), alias Duwek Lampu, alias Dwi Lighting, memamg mulai belajar Bahasa Inggris sebagai konsekwensi seringnya bekerja bersama dengan seniman dari berbagai negara. “Nice tho…?”, begitu ia mulai menyisipkan kata-kata inggris untuk meminta penilaian tentang karya lampunya.
Lelaki murah senyum ini bukan asli Yogyakarta. Dia lahir dan menghabiskan masa remajanya di Desa Jimbaran, Margoredjo, Pati, Jawa Tengah. Daerah dimana pabrik dan pertanian menggerakkan nadi kehidupan. Hanya berbekal brosur lembaga pendidikan, Duwek remaja menuju Yogyakarta, mencoba meraih mimpi menekuni keahlian Manajemen Perusahaan.
Mulanya menggairahkan! Pertemuan dengan banyak orang, pelajar dari berbagai suku, bergabung dengan bermacam kegiatan, jajan dan makanan murah. Namun sejak tempatnya belajar di Jln. Parangtritis diperebutkan pemilik yayasan dan akhirnya lantak oleh gempa bumi 2006, ijazah yang dia kantongipun tidak diakui oleh otoritas Pendidikan Tinggi.
Apa mau dikata? Informasi lembaga pendidikan yang sesungguhnya juga lembaga “bisnis” pendidikan memang tidak pernah gamblang sampai ke masyarakat, bahkan ditutupi dan diabaikan. Remaja-remaja seperti Duwekyang datang dari pelbagai pelosok negri sering mendapati pepesan kosong di Kota Pendidikan.
“Saya dan keluarga hanya tahu jika pingin kuliah, pingin pinter ya di Yogya. Semua lembaga pendidikan di Yogya berkualitas,” begitu ia mengenang.
Duwek tidak patah arang. Ia beralih profesi sebagai penata lampu, meneruskan keahlian yang didapatnya ketika menekuni aktivitas ekstraklikuler selama kuliah. Tradisi akademik sering tumbuh subur di pinggiran kampus, di dalam aktivitas pengisi waktu luang selama kuliah, atau di dalam pergaulan dengan kelompok-kelompok yang tumbuh subur.
“Di Yogya, orang tidak gaul, ya celaka! Orang tidak akan tahu dimana harus memungut ilmu dan ketrampilan. Istimewanya Yogya itu karena kita bisa belajar tanpa harus membayar, malah kadang mendapat uang. Belajar langsung dengan praktek, menjadi asisten para ahli yang dengan senang hati membagi ilmunya. Kuncinya, gaul!”.
Nama- nama sperti “Clink” Sugiharto (Teater Garasi-Yogya) dan Menthol Hartoyo(KSTY-Yogya) pernah menjadi tempatnya memborong ilmu. Atau Sony Sumarsono dan Iskandar (Teater Koma-Jakarta) pernah menjadi buku praktek yang dibukai lembar demi lembarsetelah masa pemagangandi Yogya dianggapnya cukup.
Pada tahun 2010, nama Dwi Novianto, alias Duwek Lampu, alias Dwi Lighting mulai dikenal nasional setelah menjadi penata lampu pertunjukan monolog Butet Kartaredjasa, berjudul “Kucing”. Dan kemudian, namanya mulai mengiasi buku-buku program pertunjukan. Laris manis! Tidak hanya di Yogyakarta, tidak hanya seni pertunjukan, tidak hanya bekerja dengan seniman dalam negri.” Witjak Widhi Cahya, seorang fotografer (Jakarta), menunjukkan ditail muka aktor sebagai apresiasi atas tata cahayanya suatu kali, “Kamu adalah satu dari sedikit penata lampu yang memanjakan fotografer seni pertunjukan.”
Seiring perkembangan teknologi, perkembangan tata cahya telah mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tak terbayangkan sebelumnya. Software dan hardware memungkinkan membentuk warna sesuai keinginan, persis petunjuk warna dalam dunia cetak, menggunakan komposisi CMYK atau RGB. Namun seiring dengannya, tata cahaya juga menjadi mahal, tidak terjangkau untuk sebagian terbesar pertunjukan di Indonesia. Dwi tidak mau menjebakkan diri dlm kesulitan-kesulitan semacam itu. Ia mulai mengembangkan tata lampu kontekstual, tata lampu yang mengerti keterbatasan seni pertunjukan di Indonesia. Bukankah cahaya rembulan pernah menjadi tata cahaya yang dipakai oleh seni-seni pertunjukan rakyat di masa lampau? Murah dan aduhai hasilnya.
“Saya suka dan bangga sebagai penata lampu sebab ia menjadi pendukung, ia membantu, bukan bagian utama. Saya kira salah jika membantu, namun membebani dan menghalangi.”
Pada kesempatan kedua ia bersekolah (Institut Seni Indonesia, Yogyakarta), Duwek terus melakukan ekplorasi tata cahaya. Dia ekplorasi oncor, mengembangkan pencahayaan pertunjukan dengan lampu-lampu rumahan, atau memaksimalkan cahaya bulan saat purnama. Pada awal Mei 2015, Duwek kembali melakukan eksplorasi, meminta para pemain “Kapai-kapai” (Helateater 2015- Komunitas Salihara, Jakarta) karya Arifin C Noor, sutradara Ibed Surgana Yuga memegangi senter sebagai sumber cahaya. Dengan demikian, cahaya bisa dibawa kemana-mana, menerangi pemain hingga ke atap-atap gedung. Ekplorasi estetika maksimal, tapi murah! “How do you think? Nice tho?”
- Dwi Lighting - June 2, 2015
- Menjadi Jogja - March 24, 2015