Romantisme Slebor Becak

Memang saya amati, hampir semua gambar slebor becak di Jogjakarta di dominasi pemandangan. Walau secara perspektif jauh dari sempurna, sekilas saya melihat, cukup menggambarkan kalau di sana ada “ pemandangan”. Hamparan padi yang menguning, gunung lengkap dengan pepohonan dan laut lepas biru yang elok.

Kalau menurut S. Sudjono, tokoh sentral dalam pergolakan pemikiran seni di Indonesia, pemandangan tersebut sebagai trinitas suci, pohon kelapa, gunung dan sawah. Tiga hal itu awalnya merupakan representasi pelukis-pelukis negara penjajah, Belanda di masa VOC, atas alam Indonesia. Serba enak, romantis bagai di surga, tenang dan damai, tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie (Hindia Belanda yang Indah)

Representasi itu pun berlangsung sampai saat ini. Dan becak di Jogja atau umumnya di Indonesia menggunakannya. Adapun bagian slebor, penutup ban depan, yang menjadi media untuk itu.

Walau tidak banyak, tak jarang gambar-gambar pemandangan tersebut dibuat di bagian belakang becak. Demikian pula tema gambarnya. Pemandangan bukan satu-satunya yang menjadi penghias slebor becak. Tokoh wayang, cerita rakyat, atau tulisan-tulisan bijak yang diambil dari budaya setempat, kerap digunakan sebagai penghias slebor.

Sampai saat ini, becak tetap menjadi keasyikan tersendiri buat saya. Menggunakan jasa moda transportasi tersebut, bukan sekedar pilihan tetapi keharusan ketika semua memungkinan.

Jarak tidak terlalu jauh, banyaknya waktu untuk mencapai tujuan bahkan untuk kepentingan “pribadi”. Sederhana, ramah lingkungan, efisien dan selalu melibatkan rasa personal.

Dengan laju tidak cepat, di tengah percepatan apapun saat ini, becak memberi ruang bagi saya menikmati perjalan itu. Kita bisa bincang apa saja dengan pengemudi, bahkan saat tawar menawar sebelum sepakat harga jasa.

Saya kerap bisa lebih detail mengamati lingkungan yang dilewati, memperhatikan yang selama ini ingin selalu kita perhatikan, apa yang kita lakukan. Memberi ruang sudut pandang yang berbeda di banding moda tranportasi lainnya.

Romantika pemandangan tersebut dan pengalaman itu menjadi goyah saat ini. Jogjakarta yang memaknai kota pariwisata dengan menambah jumlah kedatangan wisatawan, memberi akses lebih mudah dan lancar, yang akhirnya lupa akan kebutuhan masyarakat Jogjakarta.

Menutup nuansa romantisme pengalaman-pengalaman hidup warganya. Menutup “pemandangan” slebor becak dengan logo-logo hotel, hanya sebagian kecil kegagalan kota Jogjakarta merespon kota wisata. Logo-logo tersebut menjadi otonomi tersendiri untuk becak atas industri pariwisata yang begitu kasar.

Keleluasan ruang gerak becak terbatas, yang harusnya menjadi milik bersama atas fasilitas umum sebuah alat transportasi. Logo-logo tersebut mengkotak-kotak yang sudah membaur sejak dulu, ingatan dan impian sesuatu yang menyenangkan tentang “pemandangan” tersebut.

Ketika becak Pak Dadu adalah becak Hotel B dan becak Pak Didu adalah becak Hotel B, saya merasa itu sudah memiskinkan dan menutup sebuah imajinasi. Imajinasi akan harapan akan adanya mooi indie sampai ke anak cucu kita. Mengirup udara pegunungan, merasakan asinnya air laut terus diimpikan. Representasi elok, indah dan sejuk terhapus dengan logo hotel yang brutal.

Ketika branding sebuah produk-hotel-selalu dikaitkan hanya dengan logo semata, kita gagal memahami sebuah proses. Proses di mana kejeniusan atau keunikan lokal berdampingan dengan yang namanya sebuah brand tersebut.

Dan yang lebih mengkhawatirkan, tidak ada hubungan apapun antara abang becak, becak dan logo-logo tersebut. Kalaupun ada, itu hanya karena mereka lebih sering mangkal di sana.

Saya pasti tidak akan menemukan jawaban yang riang, pesona, indah, dan elok untuk menjelaskan makna gambar di slebor becak mereka yang berlogo hotel itu. Kering dan menjemukan pastinya.

About Wisnu Ari Tjokro

Leave a Comment