Fusion Show

Yang langsung terlintas di pikiranku adalah rasa yang kacau, tabrakan rasa. Tapi ketika saya mencicipi sushi tersebut, yang saya temukan justru sebuah hidangan ‘baru’ – meski tak terlalu berbeda dengan nasi gudeg apabila tidak diberi shoyu. “Hidangan fusion,” ujar pemilik kedai tersebut.

Hidangan fusion memang mulai merebak di Jogja. Banyak tempat makan yang berlomba-lomba menyajikan suatu inovasi hidangan baru. Fusion menjadi cara paling sederhana untuk menemukan rasa baru tersebut. Seperti sushi gudeg tadi, siapa yang menyangka?

Kompetisi hidangan fusion ini melanda tempat-tempat makan dari restoran yang mahal hingga kaki lima yang murah-meriah. Hasilnya pun makanan-makanan yang unik. Bila dulu saya bisa terpana hanya dengan burger tempe, saat ini tongseng kambing pun bisa jadi isian ravioli. Di Sepiring Bistro, steak pun disajikan menggunakan saus bumbu nusantara.

Menurut saya, fusion sendiri sebenarnya dibedakan menjadi tiga: (1) fusion natural di mana biasanya terjadi adaptasi resep pada saat seorang perantau ingin memasak masakan daerahnya, (2) fusion kombinasi di mana seoran koki menabrakkan dua masakan dari kebudayaan berbeda dan masih tampak masakan aslinya, serta (3) fusion campur-aduk, ketika seorang koki menggunakan dua atau lebih bahan masakan dari berbagai daerah dan menciptajan suatu hidangan baru yang lepas dari suatu masakan tertentu.

Di Jogja sendiri, fusion kombinasi menjadi rajanya. Para koki biasanya mengambil satu hidangan dan mengganti salah satu elemennya dengan bahan lain. Seperti mie bolognese yang sekedar mengganti spaghetti dengan mie kuning. Meski begitu, untuk rasa tetap diperhatikan agar bisa menyatu.

Banyaknya hidangan fusion ini kerap kali justru membuat kita (atau saya) belum tentu menyadari bahwa hidangan yang sedang kita makan adalah hidangan fusion. Karena keunikannya, hidangan fusion ini seharusnya bisa membuat kuliner fusion bersanding dengan kuliner tradisional. Tapi tampaknya kuliner fusion belum mempunyai ‘kisah’ yang kuat untuk melakukan itu.

About Rizkie Nurindiani

Penulis lepas yang sedang mendalami ilmu (yang kalau boleh dikatakan sebagai) antropologi kuliner, pecinta ide namun sedikit waktu dan tenaga untuk mewujudkannya, penyuka makanan sambil sedikit-sedikit mulai belajar memasak - semua di antara keriuhan menjadi seorang ibu.

Leave a Comment