Aku mengawali percakapanku dengan Katia Engel, seorang seniman peserta seorang peserta Jogja Artweeks (JAW) 2015 artwork showcase dengan berbalas-balasan pesan singkat. Ketika pertama kali membaca konsep Katia, kesederhanaan yang ia tawarkan terasa janggal. Sebagai seorang seniman yang menguasai seni visual dan seni pertunjukan, konsep yang Katia tawarkan bukan merupakan resital tarian, melainkan dance piece sederhana. Tak kusangka, perbincanganku dengannya membuat pandanganku akan dunia berubah total, seratus delapan puluh derajat.
Dalam kehidupanku selama ini, tanpa aku sadari teknologi sudah meresap ke dalam sumsum tulangku yang terdalam. Aku tidak pernah memikirkannya sebelumnya bahwa aku tidak bisa hidup tanpa teknologi. Aku merasa tidak perlu memikirkannya juga. Bukankah di zaman sekarang mereka yang hidup tanpa teknologi itu dipandang sebagai anomali?
Semenjak berkuliah di Yogyakarta, tanah kelahiran ibuku, pandanganku mulai berubah. Aku mulai belajar menikmati hidup secara sederhana, tanpa rentetan teknologi yang senantiasa menghantui keseharianku di Jakarta. Keresahan itu jugalah yang rupanya membuat Katia menggagas konsep pertunjukkannya yang berjudul “From Starting to Cut the Wood.” Dua puluh tahun lebih terjun di dunia seni membuatnya peka, bahwa hal-hal yang sering diabaikan oleh dunia merupakan hal-hal yang memanusiakan manusia.
Konsep karya Katia berusaha menemukan kembali kekuatan sakral dari ritme hidup manusia. “Technology has changed society, that’s undebateable. The sad part is, technology has limited the ability of humans to be humans,” katanya sembari menatap nanar kudapan pisang goreng dan lumpia semarang yang tersedia di hadapannya. Sekali-sekali ia mengerlingkan mata kepada Ari, lelaki yang ia percayai menjadi penari tunggal dalam lakon pementasannya tersebut.
Ritme sehari-hari seorang mask carver (pembuat topeng) menjadi sumber inspirasi utama Katia. Waktu yang dihabiskan seorang pembuat topeng untuk membuat satu topeng pada umumnya berkisar 2 – 4 minggu, waktu yang cukup lama untuk membuat topeng tersebut menjadi manifestasi emosi dan tenaga sang pembuatnya. Tak heran, topeng sering dikaitkan dengan berbagai kejadian mistis yang tidak dapat dijelaskan logika. Saat membuat topeng, kadang pembuatnya pun tak menyadari betapa banyak emosi, harapan dan usaha yang ia tumpahkan. Topeng miliknya, dengan demikian, merupakan tumpahan dari jiwanya. Dalam pementasan ini, Katia memposisikan Ari, sang penari, untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai topeng: diukir, dibentuk, ditempa dan diamplas untuk mencapai kesempurnaan.
Aku sendiri meyakini bahwa seni memiliki kekuatan tidak terlihat di belakangnya. Sebab, seni dilahirkan dan digerakkan oleh manusia. Topeng merupakan lambang dari kemunafikan dan ketidakjujuran. Mengidentifikasikan diri dalam sebuah topeng bukan merupakan perkara mudah. Tanpa konsentrasi dan ketangguhan fisik dan emosional yang kuat, maksud sang penari tidak akan sampai pada masyarakat.
Walau lahir dari gagasan sederhana; menemukan kembali kekuatan ritme dalam hidup sehari-hari manusia modern yang kesehariannya diatur oleh teknologi; aku menyadari bahwa makna yang lebih dalam dibalik semuanya. Pementasan Katia bukan cuma lakon dengan pesan tersurat sederhana, melainkan kritik dan argumentasinya mengenai jati diri manusia yang sesungguhnya.
Kapan terakhir kali kamu berhenti sejenak dari rutinitas harianmu dan tidak melakukan apa-apa selain mensyukuri semua yang kamu punya? Kapan terakhir kali kamu meninggalkan sepeda motormu dan berjalan kaki untuk mencapai tempat tujuanmu? Kapan terakhir kali kamu mensyukuri dunia dan segala isinya yang tanpa kenal lelah terus bekerja walau tak mengharapkan imbalan apa-apa?
Penulis: Chiara Anindya
-JAW Newsroom-
- Seni Sebagai Ajang Refleksi Diri - June 26, 2015
- Multikultur dalam Sebuah Polybag - April 7, 2015
- Ayo Pasaran! - March 31, 2015
- Kupi nenek dalam cangkir hijau - June 2, 2014