Perkenalan pertama dengan kopi dimulai dari kecil. Tumbuh di sebuah rumah perkebunan di Banyuwangi dengan extended family, nenek dan beberapa keponakan. Berbeda dengan di Jogjakarta dimana teh adalah minuman “nasional”, daerah di mana saya berasal kopi adalah minuman sehari hari. Setiap tamu yang datang maka akan disediakan kopi dengan gelas belimbing bening (untuk tamu kebanyakan) dan kopi dengan cangkir mewah untuk tamu khusus. Tidak ada teh, hanya kopi dan kopi. Kegiatan yang dilakukan nenek hampir setiap hari adalah menyangrai biji kopi dengan wajan panas dan pasir. Beliau membeli biji kopi itu di pasar tradisional, setelah disangrai saya ditugaskan menumbuk dengan lumpang besi. Nenek tahu betul kapan kopi itu sudah cukup halus untuk diseduh dan kapan saya harus masih menumbuknya.
Ritual kopi saya dimulai dari kebisaan untuk mencicipi kopi milik nenek yang selalu diletakkan di dapur. Ya, nenek selalu menempatkan cangkir kopi warna hijau legendarisnya di meja dapur. Awalnya dia mengira tangan saya tidak cukup panjang untuk meraih, tapi apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang anak umur 6 tahun? Mungkin untuk menyelematkan saya dari tindak kriminal lebih jauh, akhirnya, setelah berunding dengan ibu yang sibuk itu, maka suatu pagi sudah tersedia kopi dicangkir kecil, terketak berjajar dengan cangkir putih kopi milik ibu, cangkir hijau kopi milik nenek dan cangkir kecil seadanya untuk anak kecil umur enam tahun. Akan tetapi tak ada makan siang gratis, tentu saja. Setiap nenek selesai menyangrai kopi maka sudah tugas, tentunya jika saya ada di rumah dan itu sangat jarang, tangan kecil saya untuk menumbuk kopi. Buk, buk, dan kadang besi penumbuk itu menumbuk tempat yang salah hingga hingga menimbulkan bunyi nyaring karena besi alu menumbuk lumpang besinya; teng, teng. Lalu biasanya nenek menyela, “kerja harus serius jangan meleng”.
Kopi dalam cangkir seadanya milik anak kecil itu akan diisi ulang jika sudah habis. Bisa jadi kopi itu bertahan sampai dingin, bahkan dalam ingatan pendek ini dia bisa bertahan sampai esoknya. Dan dengan santai saya menghirup kopi “basi” itu, di pagi hari, dan itu enak. Puluhan tahun kemudian saya membaca sebuah buku yang menceritakan kehidupan sebuah keluarga miskin di Meksiko, bagi keluarga miskin itu kopi sangat berharga sehingga kopi yang masih tersisa semalam mereka panaskan lagi untuk diminum pagi harinya. Sedangkan saya tidak pernah memanaskannya kopi dingin di pagi hari adalah pembuka hari untuk memulai kenakalan.
Cerita kopi dingin itu menjadi berarti sekarang. Dimana kopi bukan lagi sekedar cairan hitam diminum, tapi dia mewakili sebuah gaya hidup yang berimbas pada bisnis bernilai trilyunan rupiah. Itulah kenapa ketika sudah menyangkut uang dia bukan lagi perkara remeh. Ada nilai ada tatanan yang harus dijaga dan dipertahankan. Untuk itu diperlukan seorang ahli, master di bidang meracik kopi. Munculah barista, dan sekolah meracik kopi dengan ukuran dan standar yang “benar” lalu kopi menjadi seperti ujian nasional di sekolah, ada benar dan salah. Kupi (demikian orang betawi menyebutnya) adalah industri yang sangat erat berhubungan gaya hidup, jadi semua kegenitan itu adalah sebuah konsekuensi yang jamak.
Lalu bagaimana dengan pengalaman saya dengan kopi, bagaimana juga dengan pengalaman dan pengetahuan nenek dan ibu tentang kopi? Bagaimana orang-orang semacam ini ditempatkan dalam industri gaya hidup minum kopi? Saya rasa kami tak akan terpetakan. Kopi “basi” yang didinginkan dalam suhu ruangan semalam dalam pengalaman adalah sebuah pengalaman minum kopi yang sangat unik dan personal, pastilah disebut sebagai kejahatan besar bagi para hipster kupi itu.Bagian yang hilang atau dihilangkan dalam budaya minum kopi sekarang ini adalah personalitas. Oleh karena tuntutan industri yang menuntut keseragaman dan “personalitas yang terkendali”, maka pelan tapi pasti minum kopi yang tidak baik dan benar akan dicap bidah.
Tiba-tiba saya teringat nenek dan kopi sangrainya, baunya tiba-tiba memenuhi rongga hidung. Saya tidak pernah sempat menanyakan apa jenis kopi yang di belinya di pasar, kopi Mandailing, Toraja, atau entah?
Capucinno, exspreso, or black anyone?
Sembungan, 2014, Agung Kurniawan anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang tua
- Seni Sebagai Ajang Refleksi Diri - June 26, 2015
- Multikultur dalam Sebuah Polybag - April 7, 2015
- Ayo Pasaran! - March 31, 2015
- Kupi nenek dalam cangkir hijau - June 2, 2014