Jaman dulu, di Jawa dan termasuk di Yogyakarta, orang-orang umumnya memiliki dua buah nama. Nama ketika mereka kecil dan nama saat mereka sudah dewasa.
Nama Kecil adalah nama yang diberikan orang tua saat seseorang itu baru lahir. Biasanya di kalangan rakyat jelata, nama-nama yang dipilih cukup sederhana namun sekaligus jadi pengingat.
Misalnya, nama Ponimin diberikan karena si bayi lahir tepat pada pasaran Pon, dan Legimun diberikan pada bayi yang lahir di pasaran Legi.
Tak hanya berdasarkan pasaran kelahiran, tak jarang nama juga diberikan sesuai dengan apa yang terjadi pada saat kelahiran si bayi. Maka muncullah nama Lindu, yang lahir saat ada gempa bumi, Guntur yang lahir bersamaan dengan gemuruh petir, atau Prihatin untuk bayi yang lahir saat orang tuanya sedang menghadapi berbagai cobaan.
Kemudian saat beranjak dewasa, dengan berbagai alasan, beberapa orang mengganti nama yang selama ini melekat sejak ia dilahirkan dengan nama yang baru. Biasanya bagi warga yang mengetahuinya, nama baru ini disebut dengan jeneng tuwo atau Nama Dewasa.
Ada yang karena dianggap keberatan nama, yang biasanya ditandai dengan si anak sakit-sakitan terus, maka sang orangtua mengganti nama anak tersebut.
Dahulu, ada seorang anak yang saat lahir diberi nama Kusno. Namun karena sering menderita sakit berat, maka oleh sang ayah, nama Kusno tersebut diganti. Setelah diganti, ternyata sang anak tidak sakit-sakitan lagi. Sehat wal afiat.
Kemudian sejarah mencatat anak yang namanya telah diganti tersebut saat dewasanya menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia. Soekarno.
Ada pula yang mengganti nama saat mereka mulai masuk sekolah. Inipun dilakukan dengan beragam alasan dan latar belakang.
Salah satunya adalah seorang anak bernama Soebroto yang oleh walaupun berkali-kali telah didaftarkan pamannya ke suatu sekolah, berkali-kali pula sekolah tersebut menolak si anak untuk menjadi murid sekolah tersebut.
Hingga akhirnya suatu hari si paman mendaftarkan anak tersebut ke sekolah yang sama dengan nama lain, yaitu Soetomo.
Di luar dugaan, si anak tersebut langsung diterima masuk menjadi seorang murid di sekolah tersebut, yaitu Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah dasar untuk warga Eropa dan bangsawan pribumi di Hindia Belanda .
Sejarah kemudian mencatat kelak anak tersebut menjadi salah seorang dokter sekaligus pendiri Boedi Oetomo.
Demikianlah, sampai saat ini masih banyak orang yang memiliki nama kecil dan nama dewasa, terutama pada warga negara senior yang tinggal di pedesaan.
Sehingga bukan hal aneh jika suatu saat jika kita mencari alamat rumah seseorang yang bernama Eyang Djojodimedjo, lalu saat kita sampai di desa tempat tinggal yang bersangkutan dan bertanya pada warga desa, bisa jadi warga desa tersebut mengenal Eyang Djojodimedjo sebagai Kang Kliwon. Bisa jadi…
- Friday the 13th di Jumat Kliwon - October 27, 2016
- Ciri-ciri Warung Laris - February 17, 2015
- Keluarga - February 13, 2015
- Padasan - February 5, 2015
- Apa Ibukota Turkmenistan? - January 29, 2015
- Angkringan - October 30, 2014
- Nama Kecil – Nama Dewasa - July 28, 2014
- Nama dan Bahasa - July 23, 2014
- Pasaran - July 7, 2014
- Ruwahan - June 28, 2014
Harus dilestarikan adat istiadat “Jeneng Tuwo” supaya adat kebudayaan itu tetap ada, haruskah kita orang Jawa di Indonesia kalah sama orang jawa yang non jauh di sana yaitu orang Jawa di Suriname
Sukarno, Suharto, Joko Widodo itu nama khas orang Jawa. Orang Indonesia suku lainnya langsung tek dalam otaknya bahwa itu adalah orang Jawa. Harus dilestarikan jangan malu sebagai orang jawa, nama boleh kedaerahan untuk memupuk kebudayaan, otak yang harus internasional.