Tanpa googling dan buka ensiklopedi — Apa Ibukota Turkmenistan?
Pada 1 – 6 Desember 2014 lalu di Yogyakarta digelar The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), sebuah festival internasional yang berfokus pada film-film Asia. Walau mungkin di Indonesia sendiri sebagai negara penyelenggara, festival ini tidak “seheboh” festival film lainnya, seperti FFI yang bertaraf nasional itu, namun di tingkat Asia festival ini mendapat perhatian tersendiri. Terbukti dengan 300 film yang didaftarkan untuk dapat ikut festival ini dari berbagai negara Asia.
Tidak “seheboh” festival film lainnya di Indonesia itu tadi maksudnya saat melihat beberapa pemutaran film yang cenderung sepi penonton dan kurang diminati. Biasanya ini film dari negara-negara yang kurang dikenal pecinta film Indonesia. Padahal film-film tersebut tidak kalah bagusnya ketimbang film-film-film dari negara Asia lain yang lebih dikenal masyarakat, seperti Jepang, Korea Selatan, dan tentu saja Indonesia sendiri, yang selama festival berlangsung, pemutaran film-film dari negara ini selalu didesaki penonton.
Memang mungkin kalau dilihat dari sisi teknologi pembuatan film, negara-negara seperti Kazakhstan, Turkmenistan, atau Sri Lanka, belum secanggih film-film Korea Selatan dan Jepang, misalnya. Akan tetapi dari sisi cerita, sesungguhnya apa yang ditawarkan film-film dari negara tersebut tak kalah menarik dan beberapa diantaranya menawarkan cara bertutur yang selama ini mungkin tidak kita temui di film-film umum yang membanjiri bioskop-bioskop kita.
Mungkin ada yang bertanya-tanya apa sih pentingnya kita tahu cara bertutur film-film dari negara-negara tersebut? Film-film yang jangankan di bioskop, cari file bajakannya untuk di download dari Internet aja susah didapat? Film-film dari negara-negara yang kita harus googling dulu untuk tahu apa ibukotanya?
Bukan kenapa-kenapa, sih, hanya saja masak sih dari pertama mengenal dan nonton film hingga sekarang, kita hanya mau kenal film-film Hollywood, India, Mandarin, Jepang, dan Korea Selatan? Padahal masih banyak di dunia ini yang memproduksi film juga selain tempat-tempat tersebut kok. Cuma karena berbagai kendala saja, makanya film-film tersebut tidak dengan mudah terdistribusi sampai sini Selain itu, melihat film-film dari negara lain terutama yang bukan produksi Hollywood, bisa setidaknya memberikan kita gambaran yang lebih nyata tentang bagaimana budaya negara tersebut.
Budaya di sini tak harus yang “berat-berat”, tapi bisa sesederhana bagaimana sebenarnya cara orang-orang dari negara-negara tersebut berbicara sehari-hari, yang hal-hal seperti itu sukar ditemui di film-film Hollywood. Misalnya selama ini kita tahu Eropa Timur, terutama Russia jika berbicara kaku, dingin, dan tanpa ekspresi, karena kita mendapatkan informasi tersebut dari film-film Hollywood. Tapi benarkah dalam keseharian orang-orang Russia berbicara seperti itu? Itu kurang lebih sama dengan pertanyaan apakah benar para tentara Belanda yang mencoba kembali menduduki Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan itu, kalau berbicara seperti ini: “Kowe orang ekstrimis, heh?”, seperti yang digambarkan di film-film perjuangan Indonesia. Apakah benar tentara-tentara penjajah Belanda jaman dulu seperti itu cara berbicaranya?
Contoh-contoh tadi adalah bagaimana sebuah budaya berusaha memberikan informasi mengenai budaya lain (dalam hal ini cara berbicara sehari-hari) kepada publik dari sudut pandang mereka sendiri, dan seperti yang banyak terjadi, banyak yang luput. Sebagai penonton, walaupun kita protes tentang hal tersebut, tetap saja tidak banyak membawa perubahan. Lha wong filmnya sudah jadi, sudah tersebar, sudah ditonton banyak orang, dan mungkin sudah dengan sukses membuat beberapa individu percaya cara berbicara orang-orang dari negara-negara yang digambarkan di film tadi, memang seperti itu.
Karenanya, tak ada salahnya sesekali menikmati film-film dari negara-negara yang belum “populer” atau “mainstream” di dunia perfilman, sehingga kita mendapat informasi budaya yang berbeda dari apa yang selama ini menghujani kita di layar bioskop dan televisi. Setidaknya, kita dapat gambaran kalau walaupun pecahan Uni Sovyet, orang-orang Kazakhstan tidak berbicara seperti apa yang digambarkan Hollywood. Kita juga tau bahwa cara menulis yang benar adalah Sri Lanka bukan Srilanka. Serta kita sadar bahwa Tajikistan itu berbeda dengan Turkmenistan.
Singkatnya, kita bisa membebaskan diri dari cara memandang dunia yang hanya berasal dari satu – dua sumber kebudayaan saja.
Oh iya, ngomong-ngomong, sudah tahu apa ibukota Turkmenistan?

- Friday the 13th di Jumat Kliwon - October 27, 2016
- Ciri-ciri Warung Laris - February 17, 2015
- Keluarga - February 13, 2015
- Padasan - February 5, 2015
- Apa Ibukota Turkmenistan? - January 29, 2015
- Angkringan - October 30, 2014
- Nama Kecil – Nama Dewasa - July 28, 2014
- Nama dan Bahasa - July 23, 2014
- Pasaran - July 7, 2014
- Ruwahan - June 28, 2014