Personalisasi vs Otentisitas

Baginya, mungkin, menambahkan bahan lain untuk masakan yang sudah selesai dimasak dan melewati quality control a la resto, tampak aneh. Sekedar menambahkan garam atau merica sedikit untuk perasa bukan masalah, tapi saos sambal dapat ‘merusak’ rasa dari salad itu.

Tapi begitulah yang sering terjadi.

Ayahku selalu menikmati semangkok baksonya tanpa diberi tambahan apa-apa. Berbeda dengan Ibuku atau Tanteku yang suka mencampur racikan Bapak Penjual Bakso dengan berbagai bahan: kecap, sambal, saos tomat. Di sini, Ayahku yang menerima bakso dengan apa adanya justru dianggap aneh.

“Kok ora ketok sedep ngono…” kata orang-orang yang melihat mangkok bakso Ayahku. Beliau dianggap tidak punya selera.

Ini tidak hanya terjadi pada Ayahku. Aku yang rupanya mempunyai kecenderungan sama dengan Ayahku sering mendapat tanggapan yang sama – walaupun sekarang aku mulai mencampurkan bahan-bahan yang aku suka ke dalam mangkok baksoku.

Kebiasaan ini tampak dari berneka ragam botol atau cawan yang tersedia di penjual-penjual makanan di Jogja. Untuk bakso, mulai dari cawan berisi sambal, botol saus sambal, botol saus tomat, cuka, hingga kecap tersedia di meja pengunjung. Sementara untuk soto sering pula diberi irisan jeruk nipis apabila ada yang ingin rasa kecut di dalam sotonya.

Kebiasaan mempersonalisasikan makanan rupanya sering terbawa ke masakan-masakan lain. Salah satunya contohnya ya saus sambal di dalam salad tadi. Selera pribadi menjadi lebih penting dari apa itu yang ‘otentik’.

Keahlian seorang foodie sejati bisa jadi juga diuji di sini. Dapatkah ia menemukan ramuan spesialnya yang dapat mengubah semangkok bakso menjadi ‘bukan bakso biasa’?

About Rizkie Nurindiani

Penulis lepas yang sedang mendalami ilmu (yang kalau boleh dikatakan sebagai) antropologi kuliner, pecinta ide namun sedikit waktu dan tenaga untuk mewujudkannya, penyuka makanan sambil sedikit-sedikit mulai belajar memasak - semua di antara keriuhan menjadi seorang ibu.

3 thoughts on “Personalisasi vs Otentisitas”

  1. saya termasuk golongan “putihan” kalo memesan makanan. saya bahkan hampir tak pernah menyentuh botol saus, kecap, sambal, dsb. bahkan meski rasanya “aneh” pun, saya biasanya masih bisa menerima rasa masakan.. 😀

    Reply
    • Ho oh Mas… Aku ngerti tenan kok nek njenengan wong e alim, putih, nrimo, tur lurus… :))

      Tapi serius, saya juga sangat jarang menambah macam-macam ke hidangan, kecuali sambal dan jeruk, itupun setelah sebelumnya saya cicipi dulu rasanya. Tujuannya agar bisa ngerti MSG-nya sebanyak apa, atau kaldunya sedahsyat gimana. Biar nanti bisa obyektif kalau mau menilai hidangan tersebut enak atau tidak 😀

      Reply

Leave a Comment