Ihwal PKL Kampus Kerakyatan: Sunday Morning

Maka selamat datang di kawasan pagi teramai di Yogyakarta, buah karya atas relokasi merakyat dari Kampus Kerakyatan. Sebuah pasar semarak dengan jumlah pedagang menembus 4 digit angka, dan 5 digit angka untuk jumlah pengunjungnya. Keramaian Sunday Morning atau Sunmor, juga juga diakibatkan oleh berkah dengan lokasi yang strategis, sepanjang jalan batako Notonogoro dan Olahraga. Hal ini menjawab antusias masyarakat untuk jajan, jalan pagi, atau sekedar mencari keramaian.

Sebagian orang mengklasifikasikan Sunmor sebagai pasar kaget atau pasar mingguan, sedangkan saya lebih suka mengklasifikasikannya sebagai pasar rakyat. Sebuah pasar yang dalam transaksinya benar-benar menguntungkan rakyat secara langsung. Bayangkan, dengan asumsi tidak ada preman yang melakukan pungutan liar di sana, para pedagang hanya harus membayar retribusi kebersihan sebesar Rp. 5.000,00. Tidak heran Sunmor menjadi tonggak nafkah sebagian orang, sekaligus ajang untuk lebih memperkaya diri bagi sebagian lainnya.

Embrio Pasar Sunday Morning ini sendiri sudah ada dari tahun 1984, sejak kemunculan pedagang-pedagangmahasiswa mengikuti hobi jalan-jalan pagi di kawasan dalam Kampus Kerakyatan.Mengalami berbagai perpindahan tempat dalam perkembangannya, tahun 2009Sunmor menjadi Sunmor seperti yang kita kenal saat ini. Proses relokasi Sunmor menuju tempat yang kita kenal saat ini digadang-gadang sebagai bukti, bagaimana Kampus Kerakyatan begitu dekat kepada rakyat.

Namun PKL tetaplah PKL, sebaik apa pun historis kelahirannya. Di balik keriuhan Sunmor yang masih dapat kita saksikan saat ini, ada sederet perjuangan yang harus para pedagang lalui. Semua dimulai di tahun 2012, ketika Kampus Kerakyatan memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak para pedagang untuk berjualan di kawasan Kampus.Lalu memberikan solusi yang sangat biasa; relokasi. Lagi.

Namun solusi relokasi yang ini terlalu sulit untuk dikatakan sebagai solusi dengan berbagai alasan. Pertama adalah kawasan tujuan relokasi yang terlalu kecil, nan bahkan tidak mampu menampung setengah dari jumlah pedagang resmi yang ada. Belum lagi kawasan tersebut bukanlah kawasan milik Kampus Kerakyatan, sehingga relokasi seakan hanya bentuk upaya lepas tangan.

Perjuangan pun dimulai, oleh para pedagang yang tergabung dalam Himpunan Paguyuban (Himpa). Menyadari kekalahan di mata hukum, mengadukan nasiblah mereka kepada berbagai lembaga serta ormas yang sekiranya mau memperjuangkan nasib mereka. Mulai dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (Pustek), Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), hingga Komnas HAM, DPRD dan pihak Keraton.

Uniknya, perjuangan mereka kemudian dikawal oleh segerombolan mahasiswa Kampus Kerakyatan yang menamai diri mereka Komppas, Komunitas Mahasiswa Peduli Pedagang Sunmor. Segerombolan mahasiswa ini berjuang sebagai pelampiasan ideologi. Seakan masih memiliki keyakinan untuk menjaga julukan Kerakyatan yang dirasa memudar, mereka terpaksa mengambil sisi yang berseberang dengan Kampus mereka yang dianggap alpa.

Hasil dari perjuangan berbulan ini adalah kemenangan di pihak pedagang, dengan bukti hingga detik ini mereka masih dapat berjualan seperti biasa. Namun akar permasalahan belum dilibas, masalah kebersihan, kemacetan, mafia, dan pedagang liar masih belum tuntas.Komppas lalu mengambil langkah dengan mengokupasi peran Kampus yang saat ini pasif secara perlahan. Mereka membantu proses pengelolaan, dengan senantiasa mengingatkan pedagang untuk tidak lupa tujuan sederhana perjuangan mereka dahulu; menjadikan Sunmor lebih baik ke depannya.

Namun setiap orang—baik pedagang maupun mahasiswa—tahu, kemenangan seperti ini sifatnya senantiasa sementara. Tidak ada yang tahu jikalau suatu pagi, portal jalan Notonego dan Olahraga akan digembok lagi. Tidak ada yang tahu jikalau suatu pagi, akan terbentang spanduk ‘dilarang berjualan’ lagi.Tidak ada yang tahu jikalau suatu pagi, para pedagang tidak boleh berjualan lagi.

Namun kemenangan tetap kemenangan, seberapa pun singkatnya.Jika tidur bukanlah rangkaian kegiatan anda di Minggu pagi, Yogyakarta memiliki tempat istimewa guna mengisi waktu itu. Sunday Morning namanya. Ada ribuan pedagang, tukang parkir berwajah bosan, pejalan kaki yang beragam, hingga mahasiswa pencari dana untuk KKN atau kegiatan lainnya, di sana.

About Fahmi Rijal

Perantau. Dari Pekanbaru menuju Yogyakarta untuk menulis. Sedang menunggu seorang messiah yang mau mempekerjakannya secara tetap dan bergaji. Sebelum ia lelah dan memutuskan untuk jadi PNS.

Leave a Comment