Meski tampaknya sepele, memilih tempat makan bisa menjadi polemik tersendiri. Apalagi dengan kondisi industri kuliner di Jogja yang seperti saat ini. Tempat makan tumbuh bak jamur di handuk lembab yang lupa kujemur. Hampir setiap minggu aku mendengar ada tempat makan baru yang buka – dan juga yang tutup. Pernah terjadi, untuk memilih tempat makan siang saja, aku harus berdiskusi semalaman dengan seorang kawan.
Masalah ini makin menjadi rumit dengan banyaknya referensi yang dapat kita akses. Pada akhirnya, karena keberlimpahannya, referensi itu menjadi tidak mengandung nilai informasi yang memadai. Di era digital seperti saat ini, kita dapat dengan mudah menyebarkan informasi. Baik itu berupa tulisan di blog, foto di media sosial, atau pun sekedar tulisan di mailing-list. Penyebaran informasi bukan lagi eksklusif milik media massa, siapa pun bisa menjadi corong informasi.
Nah, naiknya tren kuliner diikuti pula oleh maraknya tulisan-tulisan review serta foto-foto kuliner di blog pribadi dan media sosial (terutama instagram). Dengan ruang yang tak terbatas di dunia internet, siapa saja bisa jadi humas tempat-tempat makan tadi. Aku sebut humas karena jarang sekali ada kritik negatif di tulisan-tulisan tersebut. Kalau tidak enak, ya tidak ditulis.
Dulu, karena keterbatasan ruang tayang atau cetak, untuk bisa diliput di media massa, suatu tempat makan membutuhkan keunikan dan kelebihan tertentu. Ini menjadikan kesempatan diliput sebagai suatu momen yang istimewa. Kini, semua tempat bisa diliput oleh siapa saja. Informasi kuliner pun bergeser fungsinya, dari acuan untuk mencari tempat makan ke alat penambah hits blog/website tertentu. Belum lagi usaha tempat-tempat makan untuk dapat diliput, salah satu caranya dengan mengundang blogger atau reporter atau penggiat media sosial untuk mencicipi masakan di sana. Alhasil, tulisannya biasanya positif.
Keistimewaan diliput itu pun hilang. Informasi menjadi seakan seragam, karena tak jarang tulisan-tulisan itu juga merupakan reproduksi dari tulisan-tulisan sebelumnya. Aku sering melakukan ‘liputan’ untuk blog-ku juga sih, jadi aku mungkin ikut berperan dalam kesemrawutan informasi tempat makan di Jogja.
Bagaimanapun juga, informasi yang berlimpah ini justru membingungkanku kalau mencari acuan di internet; karena semua tempat yang mungkin muncul, akan muncul. Kalau aku jadi orang dari luar Jogja yang berkunjung ke Jogja dan mencari referensi makanan enak khas Jogja dari internet, jelas aku bisa salah tempat.
“Sama bingungnya. Sama aja kayak milih warung di jalan langsung, tapi ini di internet,” ujar adikku.
Jadi, kalau mau cari tempat makan yang cocok, aku sarankan untuk menggunakan cara tertua: bertanya pada orang yang dipercaya. Yah, minimal kita mendapatkan dialog dua arah dari hasil bertanya-tanya.
- Merapi dan Romantisme Kaliurang - September 18, 2015
- Soto (di) Jogja - September 15, 2015
- Segelas Teh di Angkringan - July 24, 2015
- Jalan Kaki di Kotagede - July 21, 2015
- Jogja Terlalu Nyaman - July 10, 2015
- Si Terang Bulan - April 28, 2015
- Acuan Kuliner dan Keberlimpahan Informasi - April 3, 2015
- Piknik itu (Bisa) Sederhana - March 21, 2015
- Traktiran Ulang Tahun - March 18, 2015
- To Eat or Not To Eat? - March 12, 2015