Akhir-akhir ini, kalimat yang mempertanyakan marga sebungkus martabak kerap sekali terdengar di lingkunganku. Sebenarnya sudah lama, tapi baru-baru ini saja aku menyadarinya. Padahal, dulunya martabak ya hanya martabak. Tidak ada martabak manis atau martabak telur.
Martabak yang aku kenal sejak kecil adalah martabak keturunan India, bukan martabak keturunan Cina. Martabak dengan sayur-mayur, daging, dan dua butir telur bebek – kalau kita pesan yang istimewa.
Sementara, martabak keturunan Cina saat itu aku kenal dengan nama terang bulan. Nama ini mungkin didapatkan dari bentuknya yang bulat menyerupai bulan. Biasanya penjual martabak juga menjual terang bulan di satu gerobak besar. Di kacanya jelas-jelas tertera nama produknya: Martabak dan Terang Bulan.
Namun, entah kapan tepatnya, nama terang bulan di Jogja mulai hilang ditelan gegap gempita martabak manis. Suamiku yang pertama kali merantau ke kota ini di awal tahun 2000-an mengatakan bahwa saat ia tiba di Jogja, ia sudah menemui martabak manis di mana-mana. Nama terang bulan sudah jarang terpampang di kaca gerobak penjual martabak.
Di area rumahku yang terletak di seputaran Condong Catur, aku masih menemukan gerobak-gerobak martabak memampang nama terang bulan di kacanya. Minimal dua lah di jalan yang sering aku lewati.
“Kalau di daerah Timoho, saya nemunya ya martabak manis,” ujar Mbak yang Momong Panji.
Terlepas dari asal nama martabak manis yang katanya dari Bangka-Belitung, bagiku cukup aneh bagi orang Jogja untuk mengubah nama terang bulan menjadi martabak manis. Terlebih, karena tidak ada mirip-miripnya antara terang bulan dan martabak (telur) tersebut. Bahkan jenis telur yang digunakannya pun berbeda.
Tapi, perubahan nama ini juga dapat kita lihat sebagai salah satu contoh dampak masuknya budaya-budaya luar terhadap dinamika kehidupan di Jogja sendiri.
Terang bulan tergeser oleh martabak manis karena banyak pendatang yang lebih mengenal martabak manis daripada terang bulan. Pun masyarakat Jogja sendiri tidak terlalu mempedulikan nama terang bulan. Apalah arti sebuah nama?
Juga, bahwa kini mungkin banyak penjual terang bulan dari luar kota Jogja, pasarnya pun menerima martabak manis tanpa berpikir panjang. Para penjual terang bulan yang berasal dari Jogja sendiri, alih-alih mempertahankan nama terang bulan, memilih untuk ikut-ikut menyebutnya martabak manis.
Meski bahan, isian, metode masak, dan harga tidak berbeda, pada akhirnya si Terang Bulan pun berkompromi dan mengubah namanya agar dapat hidup di tengah “multikulturalisme” Jogja.
- Merapi dan Romantisme Kaliurang - September 18, 2015
- Soto (di) Jogja - September 15, 2015
- Segelas Teh di Angkringan - July 24, 2015
- Jalan Kaki di Kotagede - July 21, 2015
- Jogja Terlalu Nyaman - July 10, 2015
- Si Terang Bulan - April 28, 2015
- Acuan Kuliner dan Keberlimpahan Informasi - April 3, 2015
- Piknik itu (Bisa) Sederhana - March 21, 2015
- Traktiran Ulang Tahun - March 18, 2015
- To Eat or Not To Eat? - March 12, 2015