To Eat or Not To Eat?

Baginya, daging adalah makanan yang tabu. Sama seperti saya yang menjadikan daging babi sebagai makanan tabu karena alasan kepercayaan.

Sebenarnya, manusia diciptakan sebagai makhluk omnivora – atau makhluk pemakan segalanya. Berbeda dengan tyranosaurus yang diciptakan sebagai makhluk karnovora dan brontosaurus sebagai makhluk herbivora.

Tapi ini tidak lantas membuat kita memakan segalanya. Ada batasan-batasan dalam hidup yang harus diikuti, seperti nilai budaya dan norma hidup suatu komunitas. Di sinilah muncul ‘makanan tabu’, atau makanan yang dilarang (biasanya berlaku secara sosial).

Tabu sendiri berasal dari bahasa Polinesia (taboo), yang merupakan larangan sakral untuk tidak menyentuh, menyebut atau melihat obyek-obyek dan orang-orang tertentu, dan juga tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu. Pelanggaran terhadap larangan sakral tersebut ada konsekuensinya – biasanya konsekuensi secara sosial seperti rasa malu atau pengucilan.

Karena memiliki keterkaitan erat dengan budaya suatu komunitas inilah, label tabu pada suatu makanan sangat beragam. Dua orang dengan budaya yang berbeda, yang hidup saling berdampingan pun sangat mungkin mengkonsumsi dan memberikan label tabu pada makanan yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, kesakralan kata ‘tabu’ ini sendiri menurun. Meski kurang tepat, tabu sering pula digunakan untuk urusan yang personal – seperti larangan yang diterapkan pada diri sendiri. Kata ‘geli’, ‘jijik’ dan ‘nggak tegel (tega)’ menjadi penting dalam ke-tabu-an suatu makanan bagi seseorang.

Di Jogja sendiri, makanan-makanan (yang mungkin) tabu ini sebenarnya mudah ditemui. Bahkan ada penggemarnya sendiri, yang melabeli makanan semacam itu dengan label ‘kuliner ekstrim’. Seperti belalang di Gunungkidul, atau berbagai masakan kobra di daerah Lempuyangan, hingga rica bajing yang bentuknya meyerupai tikus.

Bagi saya, tuntutan dan keinginan untuk dapat mencicipi berbagai jenis makanan memang cukup tinggi. Meski begitu, tetap saja ada konstruksi gagasan terhadap makanan yang bahkan tidak dapat saya langgar sendiri. Ketika melanggar, konsekuensinya bukan lagi rasa malu akibat dari hukuman sosial, tapi lebih pada rasa mual di lambung.

Ketika menonton film “Alive” yang menunjukkan para korban kecelakaan pesawat di Pegunungan Andes berhasil selamat berkat memakan daging temannya yang sudah meninggal, seorang sahabat tiba-tiba bertanya apakah aku dalam situasi itu mau memakan daging manusia. Setelah sempat berpikir sebentar, pada akhirnya saya jawab, “Tergantung cara memasaknya…”

Agak ekstrim, sih…

Tapi dari pertanyaan singkat itu, saya baru sadar bahwa ternyata bagi saya presentasi sajian makanan dan cara memasaknya (berikut bumbu yang digunakan) merupakan salah satu hal yang penting dalam gagasan konsumsi. Bahkan juga menjadi sangat penting untuk memutuskan tabu dan tidaknya suatu makanan bagi saya sendiri, yang terlepas dari larangan tertulis dalam agama.

About Rizkie Nurindiani

Penulis lepas yang sedang mendalami ilmu (yang kalau boleh dikatakan sebagai) antropologi kuliner, pecinta ide namun sedikit waktu dan tenaga untuk mewujudkannya, penyuka makanan sambil sedikit-sedikit mulai belajar memasak - semua di antara keriuhan menjadi seorang ibu.

Leave a Comment