Foodgram: Antara Hobi dan Promosi

Maraknya penggiat kegiatan seperti foodgram didukung juga oleh gencarnya sarana promosi tempat-tempat makan serta tempat jajan seperti kafe di Jogja yang menggunakan media tersebut.

Proses tagging people, regram, hingga mengikuti untuk mendapatkan diskon atau gratis produk juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Alasan lainnya adalah sebagai alat pamer tentang apa saja, dimana saja dan berapa saja jumlah tempat serta jenis makanan yang sudah dicoba yang (mungkin) orang belum banyak tahu.

Diawali dari fenomena ‘memotret makanan’ yang marak di berbagai sosial media hingga yang paling hip saat ini di instagram, awalnya mungkin hanya sekedar membagi info mengenai makanan tertentu atau tempat makan yang enak dan patut direkomendasikan ke teman-teman. Namun pada perjalanannya, lebih mengacu pada kegiata promosi kuliner baik itu yang memang layak direkomendasi karena sudah mencoba namun ada pula yang sengaja merekomendasi atas permintaan.Bermacam-macam cara dan jalan yang bisa ditempuh agar bisa tetap eksis di komunitasnya atau secara pribadi tapi saat ini mereka lebih suka tergabung dalam komunitas sehingga bisa saling berbagi info, makanan hingga harga.

Akun yang dulu berbagi infonya karena memang direkomendasi si pemilik akun yang sudah mencoba dan enak sekarang justru seperti iklan berbaris. Mengulas atau meliput makanan karena permintaan bukan lagi semata-mata selera pribadi, tapi karena permintaan promo yang dibayar juga.

Pemilik usaha kuliner di Jogja pun banyak yang melirik cara ini sebagai salah satu penarik konsumen yang cukup ampuh, minimal untuk membangun rasa penasaran konsumen. Mereka menggunakan media ini sebagai salah satu cara untuk ‘dekat’ dengan konsumen. Sebutlah restoran fine-dining macam Canting Resto hingga penjual jajanan kaki-lima seperti warung-warung tenda Bang Ido dan X-chef di kawasan Jakal.

Jika dicermati, tiap hari ada saja akun-akun kuliner baru yang muncul dan melabeli diri mereka sebagai ‘akun kuliner’ yang isinya notabene serupa; foto makanan, nama menu disertai harga, rating rasa, alamat dan puluhan tagar. Bukan lagi sebagai apresiasi ragam kulinari yang telah dicoba secara pribadi dan dibagi infonya namun lebih kepada ajang promosi akun kuliner atau tempat kuliner.

Yang sejatinya dulu sebagai info pribadi seputar kuliner pribadi untuk dibagi ke teman menjadi semakin kompleks dan tak lagi subyektif. Makin banyak akun baru tapi makin banyak pula yang sekedar jadi lahan promo berbagai restoran atau tempat makan. Kalau begitu, banyaknya akun-akun penggemar kulinari ini tak lagi membahas menurut lidah sendiri tetapi hanya membantu jualan warung-warung yang mereka promokan? Bisa jadi begitu. Bisa juga tidak.

About Nurlina Maharani

penyuka warna hijau yang hobi membaca, koleksi mug dan berbagai buku. Selalu antusias jika berhubungan dengan makanan dan jalan-jalan. Penulis fiksi untuk kalangan sendiri, ditengah waktu sebagai pelajar Antropologi masa kini. Masih bercita-cita punya library-cafe suatu hari nanti. | t: @akulina | IG: @aku_lina

1 thought on “Foodgram: Antara Hobi dan Promosi”

Leave a Comment