Menulis yang Remeh Temeh

Bagaimana jika apa yang menurut saya remeh-temeh itu ternyata bisa dilihat berbeda oleh orang lain? Hal itu menjadi pertanyaan saya dalam menanggapi respon atas tulisan sebelumnya: “Sebelum Menikmati Pameran Seni.

Tulisan itu awalnya dibuat dengan semangat usil, sedikit nyinyir dan geli melihat pengalaman beberapa orang dan hubungan mereka dengan karya seni. Hubungan ini mungkin saja berbeda dengan harapan sang seniman ataupun kurator dalam membicarakan relevansi karya terhadap publik. Ibarat kata harapannya adalah hubungan yang personal serta memiliki chemistry yang kuat; namun hasilnya adalah one night stand yang semata-mata fisik dan (mungkin) sedikit destruktif.

Kembali ke pertanyaan awal saya di tulisan ini. Setiap kali saya selesai menulis, saya memiliki kebiasaan untuk menunjukkan tulisan tersebut kepada suami. Terkadang saya begitu tidak percaya dirinya saat menulis tentang seni dan saya mempercayai pendapat suami dalam hal ini. Saat saya menunjukkan tulisan pertama di kanal ini, ia memberikan tanggapan yang dingin dan nyaris tidak tertarik. Tulisan saya mungkin dinilai teralu trivial– terlalu remeh-temeh. Menuliskannya mungkin membuat saya menjadi tak kalah trivial. Rasa kurang percaya diri tersebut menimbulkan pertanyaan berikutnya: “Iya juga ya.. siapa sih yang nggak tahu kalau karya seni itu tidak boleh disentuh?”.

Lucunya, beberapa kejadian selanjutnya menunjukkan gejala yang justru bertolak belakang dengan pemikiran tersebut. Pertama, beberapa orang teman mulai membagi tautan yang menuju ke tulisan saya yang ‘tips-dan-trik’ sekali itu. Tentu saja, beberapa menambahkan penekanan bahwa tulisan tersebut ‘sederhana’, ‘mudah dibaca’, dan ‘penting’. Tautan tersebut mulai dibagi oleh beberapa orang lain dan tersebar melebihi dugaan saya. Biasanya, selain saat menulis artikel untuk majalah, saya hanya menulis di blog baru yang itupun belum populer serta menulis pengantar kuratorial bagi pameran-pameran yang itu juga terbatas pembacanya. Maka saat orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal ini mulai membagi tautan tersebut, saya heran, tertekan, malu, tapi sedikit senang juga.

Kedua, seminggu setelah tulisan tersebut dimuat, sebuah email masuk ke alamat redaksi kami. Tulisan tersebut diminta oleh sebuah acara seni rupa yang rupanya merasa perlu untuk menjadikan tulisan tersebut berbentuk infografis dengan alasan ‘urgensi edukasi seni’. Mengingat kebandelan pengunjung acara seni rupa ini dari tahun ke tahun, sebenarnya saya sedikit heran– kenapa baru sekarang? Atau sebenarnya sosialisasi tentang aturan-aturan dasar atau tips dan trik ini pernah dilakukan dulu dan tetap saja ada yang bandel? Ah, tapi saya tidak ingin menambah daftar pertanyaan lagi dalam tulisan ini. Bisa-bisa jadi tulisan remeh temeh yang panjang, kan..

Nah, dua hal tersebut membuat saya kembali ke pertanyaan saya sebelumnya. Apakah yang saya rasa remeh temeh bagi para pelaku seni itu sebenarnya terasa penting bagi mereka yang ada di luar skena tersebut? Memangnya ada yang tidak tahu bahwa karya seni tidak boleh disentuh? Rupanya iya dan ada, lho!

Hal tersebut mengingatkan saya pada kata seorang teman (yang selama ini sangat saya tentang) bahwa beberapa teks serta pengetahuan tentang seni justru membuat seni terasa semakin eksklusif. Teks yang awalnya difungsikan sebagai jembatan antara publik dan pembuat karya terkadang menggunakan istilah dan bahasa yang membutuhkan bekal khusus dalam memahaminya. Hasilnya, jembatan tersebut justru membuatnya terasa semakin berjarak, berat, dan elit. Tidak heran bila beberapa orang merasa perlu menambahkan kata ‘mudah dibaca’ dalam mempromosikan tautan tulisan seni yang kebetulan remeh-temeh itu. Mungkin supaya calon pembacanya tidak keburu takut atau kapok duluan.

Di lain pihak, saya paham bahwa terdapat kepentingan-kepentingan khusus kenapa tulisan seni terkadang dibuat sedemikian rupa sehingga ada istilah International Art English— bahasa seni yang kerap digunakan secara internasional dan hanya dipahami segelintir orang. Seni tidak melulu mengenai estetika namun juga tentang gagasan, wacana, dan intelektualitas yang memang perlu dijelaskan dengan ilmu tertentu. Ada beberapa karyayang gagasannya mudah dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dan hubungan sosial antar manusia; namun ada juga karya yang relasinya justru mudah ditemukan di cabang ilmu lain seperti filosofi, psikologi, atau bahkan ilmu sains. Tidak adil juga bagi sang seniman apabila karyanya tidak mendapatkan posisi intelektual yang tepat dan seharusnya. Tentunya sang seniman tidak ingin karyanya dianggap remeh temeh dengan adanya tulisan yang remeh temeh juga, bukan?

Hal ini mengingatkan saya pada perbincangan dalam suatu diskusi di ruang seni kontemporer terkemuka: perlukah menuliskan pengantar pameran seni rupa dengan bahasa yang mudah dipahami banyak orang— yang sebenarnya belum tentu membacanya? Ada beberapa orang yang berpendapat mereka akan tetap menuliskan sebagaimana mereka biasa menulis dan hal itu adalah bagian dari edukasi seni yang dibuatnya. Ada juga yang berpendapat bahwa bagaimana tulisan tersebut dibuat tergantung pada ruang dan audiensnya alih-alih masalah keberpihakan atau preferensi.

Maka dalam teks-teks seni rupa, kritik, maupun kuratorial; saya rasa penggunaan rumusan, penerapan ilmu tertentu, hingga pilihan bahasa yang tepat merupakan kewajiban penulis dan hak seniman. Jadi ketika hasilnya terasa ‘berat’ atau ‘elitis’; selama memang sesuai dan diperlukan, saya rasa sah-sah saja. Toh memang pada akhirnya yang mengakses tulisan-tulisan ini pun umumnya terbatas dan tidak semua pengunjung pameran akan membacanya. Meskipun penting juga untuk mempertimbangkan ruang untuk menentukan siapa penontonnya, penulis pun tidak perlu sedemikian ketat membatasi dirinya untuk menulis yang setidaknya perlu hanya demi supaya ‘mudah dipahami’.

Namun untuk tulisan yang lebih umum, memang menjadi ringan namun (kalau bisa) informatif itu mungkin ada pentingnya juga. Karena, percayalah.. menulis yang terasa ringan dibaca namun memiliki kedalaman pengetahuan yang berlapis adalah sebuah seni yang hanya dikuasai segelintir penulis yang tidak hanya terlatih namun juga berbakat; yang memang telah melampaui berbagai tahapan. Contoh lahtulisan Antoine de Saint-Exupery yang Pangeran Kecil itu—buku anak-anak mana yang dibaca berulang kali bisa memiliki makna dan relevansi yang sebegitu dalamnya. Bisa dibaca sebagai bacaan ringan yang menghibur, tapi bisa juga menjadi bacaan yang sangat reflektif dan kompleks.

Kalau saya, sih, mungkin untuk beberapa waktu ke depan masih akan terus menuliskan hal-hal yang remeh-temeh seperti ini. Anggap saja kita sedang ngeteh, bercakap-cakap, dan saya sedang curhat seni rupa.. hehehe.. dibawa santai saja.

About Mira Asriningtyas

Pendiri Lir- sebuah ruang seni yang ada ruang baca, toko kecil, dan tempat makannya. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis lepas bagi beberapa majalah nasional sembari meniti karir sebagai kurator. Tulisan lainnya bisa dibaca di www.miraasriningtyas.com dan catatan visualnya di http://instagr.am/dreamiy/

Leave a Comment