Di samping menyandang predikat sebagai kota wisata dan kota pelajar, Jogja juga dijuluki sebagai kota mural. Banyak dinding-dinding di kota Jogja yang dilukis ini-itu. Saya katakan banyak karena tidak menemukan data pasti jumlah dinding yang dilukis di Jogja. Yang jelas tidak sulit menemukan dinding-dinding Jogja yang sudah diberi sentuhan seni. Salah satunya adalah dinding di jembatan Lempuyangan. Ribuan orang melintas di bawahnya setiap harinya dengan disuguhi pemandangan mural. Pertanyaan saya satu: “Siapakah pelukis mural itu?”
Iseng, saya mencoba untuk bertanya kepada salah seorang teman yang melewati jembatan Lempuyangan ketika akan ngampus. Dia tidak tahu. Saya tanyakan kepada teman lain yang juga sering melintas di sana, dia juga tidak tahu. Pertanyaan-pertanyaan ini menggelitik kami untuk tahu aktor di balik mural jembatan Lempuyangan.
Jawaban dari pertanyaan tersebut mengejutkan teman-teman saya, sama terkejutnya seperti saat saya mengetahui siapa pelukisnya dari Samuel Indratma (pendiri Jogja Mural Forum). Kami sempat bertemu Mas Sam saat sedang liputan untuk Persma kampus. Sam menuturkan bahwa pelukis mural jembatan Lempuyangan adalah tujuh orang bapak-bapak yang berusia 60-70 tahun. Ia tahu betul karena pada tahun 2005, ia merupakan fasilitator bagi para pelukis sepuh tersebut. Salah satu pelukisnya adalah Pak Legio Subroto. Beliau merupakan seniman wayang Jogja yang saat ini tinggal di Bantul.
“Lha kakek-kakek naik turun begitu kan Saya takut ada apa–apa, gitu. Habis selesai ngemural pada tak pijeti, Mbak… beneran itu,” kenang Sam diselingi tawa saat itu.
Proses melukis mural di jembatan Lempuyangan merupakan proses terlama bagi Sam. Selama bertahun-tahun berkecimpung di dunia mural, baru kali itu sebuah proyek memakan waktu hingga 6 bulan. Selain yang nggarap sudah sepuh-sepuh, media yang dilukis juga sangat luas dan tinggi. Jika dinding yang dilukis lebih dari 7 meter, maka pelukis harus menyusun tangga-tangga besi terlebih dahulu. Ditambah lagi harus mensetting lampu/pencahayaan untuk penerangan. Melukis mural memang biasa dilakukan di malam hari, menghindari cahaya matahari yang menyilaukan.
Kembali ke pertanyaan awal saya, mungkin tidak hanya saya dan teman-teman yang penasaran dengan siapa pelukis mural-mural yang tersebar di penjuru Jogja. Pelukis sepuh yang melukis jembatan Lempuyangan hanya satu dari sekian banyak pelukis mural yang ada di Yogyakarta. Beberapa muralis mungkin memiliki ciri khasnya masing-masing sehingga mudah dikenali, namun mengetahui siapa pelukis mural-mural indah yang seakan anonim ini bisa merupakan bentuk penghargaan tersendiri bagi mereka.
Mural merupakan fenomena yang menarik di Jogja. Di kota-kota lain di Indonesia maupun luar negeri tidak ada yang perizinannya sebebas di Jogja. Dinding-dinding sifatnya bebas dan semua orang berhak memanfaatkannya. Bahkan beberapa tidak sekedar digunakan untuk mempercantik, akan tetapi juga untuk “bersuara”. Menyuarakan ketidakadilan, ide/gagasan, bahkan kritik-kritik kepada pemerintah.
Apabila kita membicarakan tentang mural, isunya tidak hanya sebatas pengetahuan publik atas siapa pelukis mural dan apa pesan yang ingin disampaikannya, namun juga bisa meluas tentang perebutan ruang publik dan bagaimana dinding-dinding itu kini tidah hanya untuk memperindah maupun bersuara.
Dinding merupakan media luar ruang milik publik.Masyarakatlah pemilik dinding-dinding ini. Ketika para street artist atau pelukis mural ini ‘merebut’ ruang publik dan menggunakannya sebagai kanvas bagi karya mereka, korporat dengan modal yang lebih besar pun mulai merebut ruang ini untuk mengejar keuntungan semata. Tidak jarang ditemui dinding yang dimanfaatkan untuk iklan, terutama iklan provider. Bebas sih bebas, tapi tidak untuk iklan juga, kan?
Ditulis oleh:
Kenia Intan Nareriska
Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Disunting oleh Mira Asriningtyas
- Semacam Pasar Malam di Bulan Juni - June 5, 2015
- Pelukis-pelukis Mural - April 17, 2015
- Kopi dan Seni yang Serius - March 3, 2015
- Melihat Jogja dari Jakarta - February 7, 2015
- Studio Visit: Berkunjung ke Studio Seniman - December 11, 2014
- Andaikan Saya Seorang Kolektor - December 4, 2014
- Nexus of Change: Suatu Sore di Teater Garasi - July 11, 2014
- Menulis yang Remeh Temeh - June 25, 2014
- Sebelum Menikmati Pameran Seni - June 11, 2014
- Yuk, Berwisata Seni! - June 2, 2014