Di depanku terhidang segelas susu coklat hangat langgananku. Tidak ada yang berbeda. Susu coklat itu masih sama dengan susu coklat yang sebelum-sebelumnya. Yang berbeda adalah kali ini suamiku menolak untuk meminumnya – padahal biasanya ini adalah salah satu susu coklat favoritnya.
Yang juga berbeda adalah susu coklat di hadapanku kali ini sudah bukan ‘susu coklat’ menurutnya. Yah…ini sebagian merupakan salahku. Aku yang mengatakan bahwa (katanya) susu murni yang dijual di tempat langganan kami itu dicampur dengan santan. Walaupun aku tidak dapat membuktikannya, tapi gosipnya banyak tempat yang menjual susu murni di Jogja menyajikan susu murni yang dicampur santan – termasuk tempat langgananku itu.
“Makanya kadang rasanya gurih banget, kan…” ujar adikku.
Sejak detik di mana aku memberitahunya perihal santan dalam susu murni, ia lalu menyamakan susu coklat tersebut dengan opor. Meminum susu coklat langganan sama dengan meminum opor. Seberapapun aku mencoba menjelaskan bahwa tidak ada yang berubah dari susu itu, bahwa susu yang dulu dia suka juga dicampur dengan santan, rupanya tidak berhasil. Sepertinya imajinasi opor dan susu coklat yang bercampuraduk telah mempermainkan logikanya.
Well, it’s all in your mind, dear.
Tapi kejadian ini bukan hanya terjadi pada suamiku. Seorang kawan baikku pernah marah-marah ke penjual jus hanya gara-gara masalah santan (lagi!). Saat itu ia tengah menikmati jusnya yang katanya enak sekali, ketika aku (lagi-lagi) mengatakan kepadanya bahwa jus yang tengah dia nikmati itu dicampur dengan santan.
Saat itu aku hanya bercanda.
Tapi efeknya ternyata tidak sesuai dengan bayanganku. Kawan baikku itu langsung menjauhkan gelasnya (seakan agak jijik), berdiri, berjalan ke penjual jus, dan bilang (dengan agak marah) bahwa dia tidak suka jusnya dicampur dengan santan. Tentu saja kejadian itu membuat Mas Penjual Jus terpana karena ia merasa tidak pernah mencampur santan di dalam jus buatannya. Anehnya, setelah jelas bahwa tidak ada santan di dalam jus, kawan baikku tadi kembali ke meja dan kembali menikmati jus yang tadi sempat ditolaknya.
Mungkin aku juga sering melakukannya tanpa aku sadar, menolak suatu makanan berdasar dari apa yang aku bayangkan – padahal semuanya sama. Mungkin kalian juga sama. Menolak mie ayam langganan karena gosip mie ayam tikus, misalnya – walaupun itu melibatkan rasa jijik dalam tingkat yang lebih tinggi dibanding susu coklat dan opor.
Intinya, sometimes your mind is playing you…
- Merapi dan Romantisme Kaliurang - September 18, 2015
- Soto (di) Jogja - September 15, 2015
- Segelas Teh di Angkringan - July 24, 2015
- Jalan Kaki di Kotagede - July 21, 2015
- Jogja Terlalu Nyaman - July 10, 2015
- Si Terang Bulan - April 28, 2015
- Acuan Kuliner dan Keberlimpahan Informasi - April 3, 2015
- Piknik itu (Bisa) Sederhana - March 21, 2015
- Traktiran Ulang Tahun - March 18, 2015
- To Eat or Not To Eat? - March 12, 2015