Meski tidak begitu sesuai dengan ajaran tentang berbuka puasa yang sederhana, seumur hidupku berbuka puasa identik dengan perayaan. Paling tidak, perayaan berakhirnya puasa pada hari itu.
Tak heran, untuk memilih menu buka puasa pun sering kali dilakukan sejak satu hari sebelumnya. Terlebih lagi, aku memiliki Mama yang suka memanjakan lidah anak-anaknya. Waktu kecil, tak jarang terhidang beberapa lauk sekaligus demi memenuhi selera yang berbeda-beda dari masing-masing anak. Biasanya di meja makan, Mama menyiapkan teh hangat, minuman segar, snack pembuka, dan lauk-pauk untuk makan. Menu buka puasa yang telah direncanakan itu pun menjadi penantian tersendiri, apalagi manjelang sore hari, ketika makanan mulai dimasak dan aromanya menyebar ke seluruh penjuru rumah.
Ketika menginjak remaja, terlebih pada masa kuliah, berbuka puasa menjadi ajang sosialisasi satu-satunya dalam satu hari. “Kapan buka bareng?” menjadi pertanyaan yang sering ditanyakan, bahkan sejak sebelum puasa dimulai.
Kapan lagi bisa nongkrong kalau bukan pada jam buka puasa? Bulan puasa pun dipenuhi dengan safari berbuka – dari satu tempat ke tempat lain. Makanan Mama tergantikan dengan makanan-makanan yang tak dapat ditebak. Undangan buka puasa bersama mengalir, dan lokasinya dipilih bagaimana caranya agar tidak sampai berbuka dua kali di tempat yang sama. Tak harus resto, kadang ada teman yang mengundang berbuka puasa bersama di rumahnya.
Berbuka puasa di rumah teman menjadi favorit bagi teman-temanku yang kos di Jogja, karena itu berarti makan gratis. Hihihi.
Beranjak ke masa ini, ketika banyak prioritas telah bergeser, bagiku berbuka puasa tak lagi sekedar makan. Berbuka puasa menjadi momen berkumpul dengan keluarga. Seakan-akan, jatah untuk ruang publik selesai ketika adzan berkumandang. Itulah saatnya melepas lelah di rumah, berkumpul dengan keluarga, menikmati sisa hari ini.
Momen buka puasa yang ‘gegap-gempita’ ini sebenarnya didukung oleh bermunculannya kuliner dadakan di bulan puasa. Beberapa di antaranya ngangeni, hanya bisa ditemui di bulan puasa. Kawasan-kawasan kuliner baru, dengan deretan gerobak berisi jajanan, siap dikunjungi saat ngabuburit.
Sensasinya pun berbeda, seperti seorang temanku yang suka sholat Maghrib di beberapa masjid besar karena menyediakan makanan berbuka. Makanannya mungkin sederhana, tapi baginya berbuka di masjid dengan makanan sederhana bersama jamaah lain memiliki kesan yang mendalam. Aku sendiri, yang aku tunggu-tunggu kalau bulan puasa tiba adalah penjual serabi kucur yang berjualan di dekat rumahku. Dia hanya mau buka kalau bulan puasa.
Imajinasi, harapan, dan rasa lapar – serta momen makan bersama-sama – yang bercampur aduk membuat buka puasa menjadi momen yang spesial. Walaupun setelah itu sering ada rasa sesal karena terlalu banyak makan, sehingga sulit bergerak…
- Merapi dan Romantisme Kaliurang - September 18, 2015
- Soto (di) Jogja - September 15, 2015
- Segelas Teh di Angkringan - July 24, 2015
- Jalan Kaki di Kotagede - July 21, 2015
- Jogja Terlalu Nyaman - July 10, 2015
- Si Terang Bulan - April 28, 2015
- Acuan Kuliner dan Keberlimpahan Informasi - April 3, 2015
- Piknik itu (Bisa) Sederhana - March 21, 2015
- Traktiran Ulang Tahun - March 18, 2015
- To Eat or Not To Eat? - March 12, 2015